Tidak dapat dipungkiri saat ini banyak masyarakat di Indonesia yang belum memiliki rasa toleransi antar sesama manusia, sebagaimana yang telah diamanatkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Di Indonesia perbedaan sangat mudah digunakan untuk memecah belah masyarakat. Tidak usah denial semua orang pasti sadar kok isu SARA berhasil digunakan untuk memecah belah persatuan kita waktu Pilkada DKI tahun 2017 kemarin. Saudara jadi saling diam. Teman jadi renggang. Bahkan tidak sedikit yang keluar atau dikeluarkan dari grup sosial medianya karena isu SARA.
Waktu terjadi tindak terorisme juga begitu, pasti deh si teroris langsung ditelusuri latar belakang agamanya, dan ketika ketahuan dia berasal dari mana, banyak yang bilang “Pantesan”. Ini kan berarti kita sudah menanamkan anggapan negatif ke salah satu agama, betul kan?
Yang paling sedih, saya pernah lihat di depan mata saya sendiri ada sekelompok anak SD yang bicara “Ih, kamu dia kan agamanya *** enggak usah ditemenin lah ya”.
Miris.
Yang saya lihat, orang Indonesia seperti belum siap dan belum cukup dewasa untuk menerima kenyataan bahwa kita hidup di suatu tempat yang dihuni orang dari berbagai kelompok yang berbeda. Kalau diibaratkan kayak SMA Negeri deh.
Kalau di SMA kan ada anak basket, anak band, anak perpus, geng cantik, anak dance, dan anak bengal dan lain lain, di Indonesia ada orang Islam, orang Nasrani, orang Hindu, orang Sunda, orang Jawa, orang Sulawesi, dan lain lain.
Iya masing-masing grup beda-beda dan kadang tidak main bareng, tapi apakah harus saling bermusuhan? Apakah kalau ada calon ketua OSIS dari anak basket, anak perpus tidak boleh milih dia? Apakah anak geng cantik yang milih si anak basket harus keluar dari geng cantiknya? Apakah kalo ada jendela kelas yang pecah kita harus cari tau dia dari geng yang mana?
Semua jawabannya tidak, kan?
Terus apa bedanya sama kelompok masyarakat yang lebih besar yang ada di Indonesia, yang diisi oleh lebih banyak orang yang seharusnya lebih berpendidikan dan matang? Seharusnya kita tetap bisa kan hidup dalam harmoni tanpa mengkotak-kotakkan perbedaan?
Toh, kalau kembali ke analogi SMA, ketika lulus, saya pribadi akan dikenal sebagai alumni SMA Negeri 8 Jakarta yang terkenal sebagai anak-anak pintar dan baik. Bukan dari golongan mananya, dan kesan 'pintar dan baik' itu adalah pandangan umum orang luar. Yang anak bengal pun akan dianggap 'pintar dan baik'.
Nah, sekarang orang luar, melihat Indonesia itu bukan dia dari golongan mananya, tapi dari kesan secara umumnya. Malunya, dengan 'kericuhan' antar kelompok masyarakat ini membuat kita bisa digeneralisasi sebagai bangsa yang tidak intoleran. Mereka tidak peduli kita masuk ke kelompok yang mana, yang pasti kita adalah orang yang tidak kenal persatuan.
Malu? Pasti.
Solusi saya, kalau memang kita belum cukup dewasa menerima bahwa kita hidup di tengah kemajemukan, coba deh cari persamaan yang kita semua punya.
Iya, kita itu adalah bagian dari umat manusia. Sebagai spesies kita semua sama. Kita adalah Homo sapiens. Kalau mau musuhin dan sensi sama spesies lain, anggaplah ikan atau capung, terserah. Tapi kita sebagai manusia itu sama dan harusnya bersatu.
Kalau ada kejadian terorisme, lihatlah dia sebagai manusia yang sesat. Bukan dari golongan mana dia berasal. Dengan begini kita tidak akan jadi benci dengan salah satu golongan tertentu, kalau mau benci, ya benci sama manusia secara keseluruhan. Pindah geng aja sana sama kentang.
Kalau berteman, llihatlah dia sebagai manusia, bukan dari mana dia berasal. Kalau kita tidak lupa hakikat kita sebagai manusia, pasti kok kita pasti lebih bisa punya rasda toleransi terhadap sesama.
Toh, jika kita bisa dipecah lewat perbedaan kelompok, siapa tahu melalui kesamaan kelompok sebagai spesies yang sama, kita bisa bersatu kan?
—Rappler.com
Adelia adalah mantan reporter Rappler yang kini berprofesi sebagai konsultan public relations, sementara Bisma adalah seorang konsultan hukum di Jakarta. Keduanya bisa ditemukan dan diajak bicara di @adeliaputri dan @bismaaditya