Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG_20251201_114727.jpg
Lintas kementerian dan lembaga menggelar rapat membahas berbagai isu, di antaranya mengenai persiapan Natal dan Tahan Baru 2026, serta bencana yang melanda di berbagai titik Pulau Sumatra. Rapat tersebut digelar di Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta Pusat, Senin (1/12/2025) pagi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Intinya sih...

  • BMKG mengungkap biaya mahal modifikasi cuaca, Rp300 juta sekali terbang.

  • Pembiayaan OMC bisa berasal dari anggaran pemerintah daerah, perusahaan BUMN, kementerian, atau lembaga terkait.

  • Bencana hidrometeorologi di Indonesia meningkat dalam 16 tahun terakhir, dengan Jawa Barat sebagai wilayah dengan kejadian bencana terbanyak.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Di tengah meningkatnya ancaman bencana hidrometeorologi, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menegaskan pentingnya prioritas daerah dalam melaksanakan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC).

Kepala BMKG, Teuku Faisal Fathan, menyebut ongkos untuk menerbangkan pesawat OMC tidak murah dan bergantung pada jenis armada yang digunakan.

Hal ini ia sampaikan usai rapat koordinasi lintas kepala daerah, kementerian, dan lembaga di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, Senin (1/12/2025).

“Tergantung jenis pesawatnya, bisa di atas Rp300 juta perlu untuk sekali penerbangan. Perlu dilakukan prioritas daerah mana yang perlu mendapatkan operasi modifikasi cuaca,” kata Faisal.

1. Biaya bisa secara mandiri dilakukan oleh pemerintah daerah

Petugas memasukkan bahan semai ke dalam pesawat Cessna 208 Caravan PK-SNM untuk Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) di Bandara Internasional Jenderal Ahmad Yani, Semarang, Jawa Tengah, Senin (27/10/2025). (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Faisal menjelaskan, ada beberapa skema pembiayaan OMC, salah satunya berasal dari anggaran pemerintah daerah.

Contoh yang paling jelas adalah langkah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mendanai OMC untuk mengurangi hujan ekstrem dan memperbaiki kualitas udara.

"Yang pertama adalah pembiayaan yang datang secara mandiri seperti Pemprov DKI itu juga membiayai operasi modifikasi cuaca untuk mengkurangi hujan ekstrim di wilayah DKI Jakarta dan juga untuk setelah dimodifikasi hujannya itu meningkatkan kualitas udara. Karena paling buruk di Jakarta, Bandung, Surabaya," ujar Faisal.

Skema kedua bisa datang dari perusahaan BUMN, kementerian, maupun lembaga terkait. Dalam pelaksanaannya, BMKG kerap bekerja sama dengan TNI AU.

"BMKG bekerja sama dengan TNI AU untuk melaksanakan operasi modifikasi cuaca apakah itu untuk mendatangkan hujan atau memencah awan hujan agar tidak terjadi di daerah rawan. Kemudian dalam kondisi darurat, darurat bencana itu pembiayaan dari BNPB, kami BMKG itu mensupervisi pelaksanaan operasi modifikasi cuaca tersebut," bebernya.

Faisal juga menegaskan, daerah dengan kemampuan anggaran besar tetap berpeluang mendanai OMC.

"Tidak menutup kemungkinan bagi daerah-daerah yang memiliki kemampuan secara finansial untuk dapat mendukung pelaksanaan operasi modifikasi cuaca ini karena biayanya cukup mahal," ucap dia.

Dengan biaya penerbangan yang bisa tembus Rp300 juta sekali terbang, keputusan daerah untuk menggelar OMC jelas harus diperhitungkan matang, terutama di wilayah yang rentan bencana.

2. Bencana hidrometeorologi alami peningkatan dalam 16 tahun terakhir

Apel Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi yang digelar Polrestabes Medan (Dok. Istimewa)

Terpisah, saat rapat berlangsung, Faisal mengatakan bencana hidrometeorologi di Indonesia mengalami peningkatan selamat 16 tahun terakhir.

"Yang perlu kita cermati adalah tren dari bencana hidrometeorologis cenderung naik dalam 16 tahun terakhir," kata dia di Ruang Sasana Bhakti Praja, Gedung C Kemendagri.

Dalam rapat yang sama, Faisal membeberkan fakta penting. Menurutnya, bencana hidrometeorologi di Indonesia meningkat dalam 16 tahun terakhir.

"Yang perlu kita cermati adalah tren dari bencana hidrometeorologis cenderung naik dalam 16 tahun terakhir," kata dia.

Peningkatan ini membuat kebutuhan mitigasi berbasis teknologi, termasuk OMC, makin mendesak. Banjir, longsor, hujan ekstrem, dan angin kencang tidak hanya mengancam keselamatan warga tetapi juga infrastruktur vital, transportasi, hingga ketahanan ekonomi daerah.

3. Bencana hidrometeorologi paling banyak terjadi di Jawa Barat

Apel Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi yang digelar Polrestabes Medan (Dok. Istimewa)

Dalam pemaparannya, Faisal menyebut Jawa Barat sebagai wilayah dengan kejadian bencana hidrometeorologi terbanyak di Indonesia. Disusul Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Sulawesi Selatan.

"Kemudian jika kita kulik lebih dalam, di Jawa Barat ini yang paling banyak terjadi adalah hujan ekstrem. Kemudian, dilanjutkan yang warna oranye adalah angin kencang. Nah ini di Jawa Barat, kemudian Jawa Tengah, Jawa Timur," ujar Faisal.

BMKG mencatat, fenomena yang paling sering muncul adalah hujan ekstrem, angin kencang, petir, puting beliung, hingga hujan es. Semua itu berdampak pada aktivitas harian masyarakat, termasuk penerbangan dan pelayaran.

"Ini di Indonesia, umumnya yang terjadi adalah hujan ekstrem dan angin kencang. Tapi, kita juga memiliki petir. Bencana petir yang merusak infrastruktur kita, kemudian puting beliung, ada di beberapa tempat juga hujan es dan jarak pandang terbatas yang memengaruhi aktivitas penerbangan dan pelayaran," ujar Faisal.

Editorial Team