Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ketua umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Tony Samosir/dok

Jakarta, IDN Times - Ketua umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Tony Samosir, mengungkapkan saat ini kesenjangan (gap) pelayanan kesehatan masih dialami masyarakat.

Kesenjangan tersebut mulai dari susahnya memperoleh akses obat, akses pemeriksaan laboratorium, dan akses memperoleh informasi pelayanan kesehatan.

Gap ini termasuk tipe Rumah Sakit antara tipe A dengan tipe di bawahnya yang berbeda tarif pelayanannya. Bayar BPJS-nya sama, iurannya sama tapi tarif pelayanannya berbeda. Ini yang harus diselaraskan, Jakarta dan Papua tidak ada yang beda,” kata Tony saat berbicara pada diskusi publik dalam rangka World Patient Safety Day 2022 dalam siaran tertulisnya, Kamis (29/9/2022).

1. Kesenjangan layanan kesehatan dirasakan pasien yang menjalani cuci darah

ilustradsi mesin cuci darah (critcareedu.com.au)

Dia menilai gap pemerataan layanan kesehatan antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lain dirasakan pasien-pasien yang menjalani cuci darah.

“Cuci darah ini kan seumur hidup, kalau saya cuci darah di tipe D tidak sama dengan cuci darah di tipe A. Padahal penyakitnya sama, tetapi di tipe A obatnya lebih dapat service lebih baik ketimbang di tipe D, ini terkait dengan hak atas obat-obatan,” terang dia.

2. BJPS Kesehatan idealnya tidak ada kelas 1, kelas 2 dan kelas 3

Ilustrasi kartu BPJS Kesehatan (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Merespons aturan pemerintah terkait kelas standar dari BPJS Kesehatan yang bertujuan untuk pemerataan pelayanan kesehatan, menurut Tony, BJPS Kesehatan idealnya tidak ada kelas 1, kelas 2 dan kelas 3, mengingat hal itu merupakan jaminan sosial. Sehingga sudah seharusnya semua kelas dilebur menjadi satu, sama semuanya.

“Dengan adanya kelas 1, kelas 2 dan kelas 3, maka timbul kesenjangan. Kalau sudah dikotak-kotakkan menggunakan kelas, otomatis berdampak kurang baik untuk pelayanan kesehatan. Nantinya jadi 2 segmen, iuran mandiri jadi Non PBI, sedangkan iuran kelas 3 yang dibayar oleh pemerintah menjadi PBI,” ucapnya.

3. Kelas standar tetapi harus ada pengawasan

BPJS Kesehatan (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)

Pada dasarnya, dia setuju dengan dibuatnya kelas standar, tetapi harus ada pengawasan dan membuat skema pembayaran yang berkeadilan.

“Dibuat kelas standar tapi tarifnya lebih di bawah ya sama saja. Jadi harus benar-benar ditimbang dengan matang,” tegasnya.

4. Beberapa tantangan BPJS Kesehatan

(Petugas melayani warga di Kantor Pelayanan BPJS Kesehatan Jakarta Pusat, Matraman, Jakarta) ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Sementara, Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan, Lily Kresnowati, mengatakan saat ini ada beberapa tantangan BPJS Kesehatan. Pertama, kesiapan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL).

“Kesiapan seluruh FKRTL untuk menyesuaikan dengan arah rawat inap kelas standar JKN, termasuk pemenuhan dokter spesialis/subspesialis,” katanya.

Lalu, penyesuaian sistem rujukan pelayanan kesehatan sesuai kebijakan terbaru, termasuk sosialisasi kepada peserta, serta pembiayaan pelayanan kesehatan meliputi reviu tarif INA CBG, resiko terhadap pembiayaan JKN. Keempat, penyesuaian iuran JKN.

“Penyesuaian iuran karena perubahan Hak Kelas Rawat Peserta JKN dan perubahan manfaat sesuai kebijakan Kebutuhan Dasar Kesehatan,” ujarnya.

Editorial Team