Posisi Syahri yang juga calon kepala daerah membuat KPUD Tulungagung gak bisa mencoretnya dari daftar peserta Pilkada 2018. Walau, kini ia sudah mendekam di rutan karena menjadi tersangka kasus korupsi. Alhasil, mau gak mau, ia akan diberi kesempatan untuk mencoblos pada 27 Juni. Namun, gak untuk berkampanye.
KPK pernah menegaskan belum pernah terjadi sebelumnya cakada diizinkan keluar dari rutan untuk melakukan kampanye. KPUD Tulungagung pun gak bisa memerintahkan agar nama Syahri diganti.
Ketua KPUD Tulungagung, Suprihno pada Jumat kemarin menjelaskan pencalonan Syahri gak bisa dibatalkan.
"Pencalonannya gak bisa dibatalkan, jadi prosesnya terus berjalan. Bisa diganti dalam masa verifikasi dan 30 hari sebelum pemungutan suara. Lebih dari itu gak bisa diganti," ujar Suprihno.
Hal itu mengacu kepada Peraturan KPU nomor 15 tahun 2017, perubahan dari PKPU nomor 3 tahun 2017. Di sana menyebut ada alasan untuk mengganti calon peserta, pertama calon berhalangan, kedua, calon mengalami sakit permanen dan ketiga, calon dijatuhi pidana berkekuatan hukum tetap.
Dalam kasus Syahri-Maryoto, maka seandainya mereka menang, maka kepala daerah berusia 50 tahun itu akan tetap dilantik di dalam rutan. Setelah itu baru diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri. Itu pun dengan catatan, kasusnya sudah divonis dan berkekuatan hukum tetap.
Hal itu juga disampaikan oleh Saut. Ia mengaku gak menghendaki Syahri untuk maju dalam Pilkada.
"Tapi, kalau kemudian terpilih, kan berarti bisa sama seperti kejadian sebelumnya, dilantik di dalam rutan. Itu kan prosedurnya," kata dia.
Ini merupakan kali kesekian kepala daerah dari Provinsi Jawa Timur kena proses hukum yang dilakukan lembaga anti rasuah. Apakah ini artinya, Jawa Timur masuk ke zona merah daerah korup? Saut menyebut bukan Jatim saja yang akan menjadi perhatian lembaga anti rasuah.
"Indonesia secara keseluruhan, memang progressnya lambat (untuk bebas dari korupsi). Tetapi agenda KPK untuk membangun integritas hingga tahun 2023 akan jalan terus," kata Saut.