IDN Times/Margith Juita Damanik
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menanggapi soal penilaian kinerja lembaganya. Menurut dia, seharusnya penilaian jangan hanya berdasarkan satu tolak ukur dari satu pihak.
"Kita mengukurnya sebenarnya tidak bisa hanya dari indeks dari TI sebagai satu-satunya ukuran. Kalau untuk kinerja KPK, saya pikir seharusnya sekurang-kurangnya dua. Kesatu, apakah jumlah kasus yang kita selidiki, kita sidik dan tuntut bertambah, baik segi kuantitas maupun kualitas," ujar dia, kepada IDN Times, Rabu.
Laode menjelaskan dari segi penambahan kasus yang ditangani KPK cukup banyak, bahkan sebelumnya kurang dari 100 kasus, sekarang sudah hampir 200 yang ditangani selama 2018. "Sekarang (tahun ini) kita targetkan lebih."
Untuk pencegahan, kata Laode, sekarang KPK melakukan banyak hal. Karena itu, lembaganya menjadi koordinator sekretariat pencegahan korupsi sesuai apa yang dikeluarkan presiden dan melibatkan Kantor Staf Presiden (KSP), MenPAN, Mendagri dan Bappenas.
"Di situ kita fokus untuk beberapa hal, salah satunya adalah, ease of doing business harus ditingkatkan, sistem perizinan lewat satu pintu seharusnya diperbaiki, kalau bisa online. Yang kedua, plan e-budgeting, supaya tidak ada lagi korupsi antara legislatif dan eksekutif di daerah maupun di pusat, itu kita terus lakukan," kata dia.
Penilaian ketiga, lanjut Laode, peningkatan kualitas dari pengelolaan internal, inspektorat. Selama ini menurutnya kurang baik, karena harus melapor ke atasan inspektorat. "Di kabupaten dia gak lapor ke bupati loh, dia melapor ke sekda. Karena itu kita mengusulkan ke presiden ada penggantian peraturan dan PP-nya ada."
"Presiden untuk itu committed, sekurang-kurangnya si inspektorat melapor juga ke, satu tingkat di atas atasannya, misalnya di provinsi, laporannya selain diberikan kepada gubernur, juga diberikan ke Mendagri, supaya ada satu kontrol, ada kementerian dan lembaga juga demikian," lanjut dia.
Kendati, Laode mengaku prihatin dengan status indeks persepsi korupsi di Indonesia sejajar dengan Bosnia dan Srilanka. Karena indeks persepsi korupsi yang dijadikan bahan penilaian beberapa (indikator).
"Untuk ASEAN, kita masih bersedih, Brunei gak apple to apple dibandingkan. Yang saya selalu saya agak kesal itu Malaysia, tapi tren Malaysia itu setelah ditinggal Mahathir menurun. Kalau kita anggap era reformasi sebagai titik mulai, kita sudah menyalip Thailand, Filipina, yang dulu mereka jauh lebih tinggi. Saya belum puas," kata dia.
Laode menyebutkan ada beberapa faktor alasan IPK di Indonesia tidak meningkat. Di antaranya adalah korupsi di sektor penegakan hukum, nilainya hanya 20, menyangkut kepolisian kejaksaan dan pengadilan.
"Kedua, korupsi di sektor politik dan melibatkan parpol dan bagian lain adalah pejabat-pejabat elected official, itu skor paling rendah," kata dia.
"Jadi kalau kita mengakui dan itu memang kenyataan setelah kita lihat banyaknya laporan masyarakat dan banyaknya jumlah penindakan di KPK, ya kan banyak sekali.
Itu terkonfirmasi bahwa korupsi di bagian politik banyak," imbuh Laode.