Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Presiden RI Prabowo Subianto menyaksikan langsung sailing pass atau parade kapal perang TNI Angkatan Laut di Teluk Jakarta, Kamis (2/10/2025) (dok. Tim Media Prabowo)
Presiden RI Prabowo Subianto menyaksikan langsung sailing pass atau parade kapal perang TNI Angkatan Laut di Teluk Jakarta, Kamis (2/10/2025) (dok. Tim Media Prabowo)

Intinya sih...

  • Imparsial menilai pemerintahan Prabowo-Gibran mempertegas rekonsolidasi militerisme di Indonesia.

  • Fenomena militerisasi ruang sipil terjadi melalui tiga bentuk atau pendekatan, termasuk pelibatan TNI dalam program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG).

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Pemerintahan Presiden RI, Prabowo Subianto dan Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka berusia satu tahun pada Senin (20/10/2025).

Menurut Imparsial, selama satu tahun terakhir, terdapat sejumlah catatan penting di bidang pertahanan yang patut menjadi perhatian bersama.

Imparsial menilai, satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran justru mempertegas rekonsolidasi militerisme di Indonesia.

"Alih-alih memperkuat agenda reformasi sektor keamanan yang telah diperjuangkan sejak dua dekade terakhir, pemerintah bersama DPR justru mengambil langkah-langkah yang mendorong dominasi peran militer di ranah sipil, baik secara legal-normatif maupun faktual-implementatif," kata Wakil Direktur Imparsial, Hussein Ahmad, dalam keterangannya, dikutip Senin.

Menurut dia, kecenderungan ini mengancam prinsip dasar supremasi sipil, melemahkan mekanisme akuntabilitas demokratis, serta membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan yang dapat mengarah pada bentuk pemerintahan yang semakin autokratis.

Imparsial juga menjelaskan sejumlah gejala rekonsolidasi militerisme di Indonesia dari beberapa aspek.

1. Militerisasi ruang sipil

Presiden RI Prabowo Subianto menyaksikan langsung sailing pass atau parade kapal perang TNI Angkatan Laut di Teluk Jakarta, Kamis (2/10/2025) (dok. Tim Media Prabowo)

Menurut Imparsial, fenomena militerisasi ruang sipil terjadi melalui tiga bentuk atau pendekatan.

Pertama, perluasan pelibatan TNI dalam ranah sipil atas nama operasi militer selain perang (OMSP). Salah satu contoh menonjol adalah keterlibatan TNI dalam proyek strategis nasional (PSN) Food Estate di Merauke.

Imparsial memandang program Food Estate, yang diikuti dengan pembentukan lima Batalyon Infanteri Penyangga Daerah Rawan (Yonif PDR) di Papua, tidak hanya menyimpang dari peran utama TNI, tetapi juga berpotensi memperburuk spiral kekerasan di Papua.

Imparsial mengatakan, konflik antara TNI dan masyarakat yang berujung pada pelanggaran HAM sangat mungkin terjadi, terlebih ketika Menteri Pertanian menyatakan, pembukaan lahan seluas satu juta hektare dikendalikan langsung oleh Pangdam XVII/Cenderawasih.

Pengiriman pasukan tambahan secara ilegal di Merauke juga dinilai semakin memperlihatkan kecenderungan pendekatan keamanan (sekuritisasi) dan penguatan militerisme oleh pemerintah di Papua.

Langkah ini, kata dia, menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan konflik secara damai dan memperkuat ketakutan masyarakat serta dominasi militer di wilayah rawan konflik tersebut.

Kedua, pelibatan TNI dalam tugas-tugas yang tidak termasuk dalam OMSP sebagaimana diatur dalam UU TNI. Keterlibatan militer dalam program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dinilai menunjukkan bergesernya peran TNI dari fungsi utama pertahanan ke ranah sipil.

"Padahal, tugas semacam ini seharusnya dijalankan oleh institusi sipil. Pelibatan ini tidak hanya mengganggu profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara, tetapi juga melanggar ketentuan UU Nomor 34 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang TNI," ujar dia.

Ketiga, penempatan prajurit aktif dalam jabatan sipil, di antaranya adalah pengangkatan Mayor Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet. Selain itu, pengangkatan Dirut Bulog sebanyak dua kali yang menempatkan militer aktif, yaitu Letjen TNI Novi Helmy Prasetya yang akhirnya memilih kembali berdinas di TNI usai beberapa bulan menjabat dan Mayjen TNI Ahmad Rizal Ramdhani, sebagai Direktur Utama (Dirut) Perum Bulog yang baru.

"Pengangkatan tersebut merupakan pelanggaran nyata terhadap UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, khususnya Pasal 39 dan Pasal 47 yang menegaskan, prajurit aktif tidak boleh terlibat dalam politik praktis dan hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas keprajuritan," kata dia.

"Pengangkatan ini tidak hanya mencederai semangat reformasi TNI, tetapi juga menunjukkan pengabaian terhadap prinsip supremasi hukum," ujar Hussein.

2. Pembentukan Dewan Pertahanan Nasional dengan kewenangan berlebih

Prajurit TNI saat menghadiri gladi bersih perayaan HUT TNI di Monas (dok. Dispenad)

Hussein juga menyoroti pembentukan Dewan Pertahanan Nasional (DPN) yang memang diamanatkan oleh UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

Kewenangan lembaga ini meluas secara berlebihan melalui Perpres Nomor 202 Tahun 2024. Pasal 3 huruf f peraturan tersebut menyebutkan, DPN memiliki “fungsi lain yang diberikan oleh Presiden,” yang bersifat multitafsir dan membuka peluang penyalahgunaan wewenang.

Dengan klausul ini, DPN berpotensi menjadi lembaga superbody yang melampaui batas kewenangannya.

Imparsial menilai, pembentukan DPN ini merupakan langkah yang berpotensi mengancam prinsip akuntabilitas dan kontrol demokratis di sektor pertahanan itu sendiri. Lebih jauh, komposisi keanggotaan DPN yang didominasi unsur militer dan elite eksekutif menunjukkan absennya prinsip check and balance yang semestinya dijaga dalam sistem pertahanan demokratis.

"Alih-alih memperkuat koordinasi kebijakan pertahanan nasional yang inklusif, pembentukan DPN justru menegaskan pola sentralisasi kekuasaan di tangan Presiden dan lingkaran militer, yang bertentangan dengan semangat reformasi sektor keamanan pasca-1998," ujar dia.

3. Penguatan struktur komando teritorial

Presiden Prabowo Subianto (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Imparsial juga menyoroti pernyataan Menteri Pertahanan (Menhan), Sjafrie Sjamsoedin yang menyampaikan dalam rapat dengan DPR, pada tahun 2025 TNI akan membentuk 100 Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP) di bawah Kodim untuk membantu percepatan pembangunan di sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan kesehatan.

Rencana ini dinilai bertentangan dengan penjelasan Pasal 11 Ayat 2 UU TNI yang menegaskan penggelaran kekuatan TNI harus dihindarkan dari bentuk organisasi yang berpotensi digunakan untuk kepentingan politik praktis.

"Alih-alih melakukan restrukturisasi atau pengurangan jumlah koter sebagaimana diamanatkan dalam agenda reformasi TNI pemerintah justru memperkuat struktur tersebut. Padahal, struktur koter merupakan warisan dwifungsi TNI pada masa Orde Baru dan berpotensi kembali digunakan untuk kepentingan politik kekuasaan," ujar Hussein.

4. Kekerasan militer dan praktik impunitas

Presiden Prabowo Subianto (kanan) didampingi Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin (tengah) dan Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto (kiri) memeriksa pasukan pada Upacara HUT ke-80 TNI di kawasan Silang Monas, Jakarta, Minggu (5/10/2025). Peringatan HUT ke-80 TNI mengangkat tema besar TNI Prima, TNI Rakyat, Indonesia Maju. (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)

Lebih lanjut, Imparsial membahas mengenai kasus kekerasan dan tindak pidana yang melibatkan anggota TNI terus berulang. Namun penyelesaiannya tetap dilakukan melalui peradilan militer.

Berdasarkan catatan Imparsial, sejak Januari hingga September 2025, prajurit TNI berulang kali terlibat dalam tindak pidana umum, seperti penembakan bos rental mobil di Tangerang (Januari), penyerangan Polres Tarakan (Februari), penembakan warga sipil di Aceh dan Lampung, pembunuhan jurnalis perempuan di Banjarbaru (Maret), serta penculikan dan pembunuhan Kepala Cabang Bank BRI di Jakarta (Agustus).

Kekerasan juga terjadi di internal militer, seperti kasus kematian Prada Lucky di Nusa Tenggara Timur akibat penganiayaan seniornya. Pola kekerasan yang berulang ini menunjukkan adanya masalah struktural dan kultural dalam tubuh TNI.

Imparsial menilai, sistem peradilan militer terbukti menciptakan ruang impunitas. Proses persidangan yang tertutup dan tidak memenuhi prinsip fair trial membuat keadilan sulit diwujudkan, terutama bagi korban sipil.

Lebih dari itu, kasus kekerasan terhadap perempuan dalam lingkungan militer juga sulit mendapatkan keadilan karena sistem peradilan yang tertutup dan abai terhadap prinsip keadilan gender.

"Kondisi ini semakin diperparah dengan belum direvisinya UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, padahal TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 dan Pasal 65 ayat 2 UU TNI telah menegaskan bahwa prajurit harus diadili di peradilan umum bila melakukan tindak pidana umum," kata Hussein.

"Fakta bahwa ketentuan ini terus diabaikan memperkuat kesan bahwa anggota TNI kebal hukum. Reformasi peradilan militer merupakan mandat konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat 1 dan Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945 yang menegaskan prinsip persamaan di hadapan hukum. Pemerintah dan parlemen wajib menindaklanjuti amanat ini sebagai bagian dari agenda reformasi TNI yang belum tuntas," lanjut dia.

Editorial Team