IDN Times/Irfan Fathurohman
Dengan pembawaan yang santai, Andi menjelaskan cerita di setiap tekuk monumen proklamasi. Dua patung tokoh yang dibuat dari logam perunggu dengan masing-masing seberat 1.200 kg, ini adalah hasil sentuhan seniman legendaris dari Pulau Dewata, I Nyoman Nuarta.
Pria kelahiran Tabanan, Bali, 14 November 1951 itu adalah pematung Indonesia dan salah satu pelopor Gerakan Seni Rupa Baru (1976). Dia paling dikenal lewat maha karyanya seperti Patung Garuda Wisnu Kencana di Badung, Bali, dan Monumen Jalesveva Jayamahe, Surabaya.
“Cuma, tinggi kedua patung itu beda. Mungkin karena Bung Karno lebih tinggi sedikit dari Bung Hatta ya wakilnya, terus Bung Karno juga pake peci. Kalau Bung Karno ini tinggi patungnya 4 meter 60 cm, sementara wakilnya 4 meter 30 cm,” kata Andi.
Wajah Bung Karno itu diukir dalam usianya 46 tahun sedangkan Bung Hatta menggambarkan saat berusia 43 tahun. Di tengah kedua patung tersebut ada patung teks proklamasi yang merupakan hasil pembesaran dari naskah aslinya, beratnya 600 kg, dengan panjang 290 cm dan lebarnya 160 cm.
“Banyak orang yang tidak paham mengapa (di teks proklamasi) tahun ’05 bukan ’45. Kenapa 05? Karena pada waktu itu, kita masih mengikuti kalender Jepang. Alasannya begitu karena masih mengikuti kalender Jepang. Waktu itu tahun Jepangnya 2605 tapi masehinya 1945. Maka di situ (naskah proklamasi) tahunnya ’05,” ucap Andi.
Di belakang patung ada 17 yang memiliki makna tanggal kemerdekaan. Kemudian pilar yang paling tinggi ada di tengah tingginya delapan meter dengan makna sesuai bulan kemerdekaan Agustus.
“Kemudian kalau sore itu suka ada air mancur, itu masing-masing pilar ada strip kecil dari kiri sampai ke kanan itu jumlahnya 45. Jadi ada 17, ada 8, ada 45. Kemudian di belakang naskah ini ada lima buah sirip balok yang pendek, itu artinya ideologi negara yaitu Pancasila,” kata Andi.
“Nah, yang tadi saya jelasin adalah monumen proklamator. Tapi bukan di sini tempat Bung Karno dan Bung Hatta membacakan proklamasi. Ini hanya monumen proklamator yang digagasi oleh Presiden Soeharto,” sambungnya.
Lalu di mana Sukarno-Hatta membacakan proklamasi?