Duta Besar Jepang untuk Indonesia Masaki Yasushi dalam press briefing di Kantor Kedutaan Besar Jepang. (IDN Times/Amir Faisol)
Menurut Masaki, wajar bila Indonesia saat ini masih menghadapi banyak masalah dalam menjalankan program MBG. Karena belajar dari Jepang membutuhkan waktu yang panjang untuk mensukseskan program MBG.
"Saya pikir menggunakan pengalaman kami, itu mengambil waktu untuk membangun program MBG, untuk membuat sistem untuk membuat makanan segar, dapur, orang yang bekerja, dan itu mungkin berbeda menurut daerah-daerah. Mungkin MBG di Jakarta, berbeda dari MBG di Papua, dan lain-lain mungkin sistemnya berbeda," kata dia.
"Saya pikir, kerajaan Anda membutuhkan lebih banyak waktu dan lebih banyak penelitian. Jika Anda mencoba melakukannya dengan terlalu cepat, dengan banyaknya, mungkin Anda bisa menghadapi masalah tersebut," sambungnya.
Diketahui, program MBG berubah menjadi petaka usai gelombang keracunan massal berulang terjadi di daerah-daerah. Data nasional memperlihatkan 8.649 anak tumbang buntut keracunan MBG. Jumlah itu mengacu pada laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) hingga 27 September 2025. JPPI mencatat adanya lonjakan jumlah korban keracunan, yakni 3.289 anak dalam waktu dua pekan.
Pada September 2025, jumlah korban keracunan per pekannya terus melonjak. Data sepanjang 22 hingga 27 September 2025, jumlah korban keracunan mencapai 2.196 anak dalam waktu dua pekan.