Yang dialami Rani ketika Mei '98 adalah luka. Luka dalam yang belum pulih hingga saat ini, 20 tahun berselang. Dan Rani tidak sendiri. Ribuan orang ikut terluka karena ikut jadi korban saat kerusuhan Mei '98. Luka itu, yang menurut Rani tidak akan pernah bisa pulih jika orang memilih untuk tidak mengakuinya.
"Pesan inti dari Chinese Whispers itu kan bahwa kita tidak mungkin memulihkan luka yang tidak mau kita akui. Cerita inilah yang jadi kontribusi saya sebagai seniman, sebagai seorang storyteller, untuk mengakui bahwa kejadian-kejadian ini benar terjadi. Itu saja sesungguhnya," ujar Rani.
Tugas Rani adalah sebagai storyteller, sementara soal pengakuan di level-level lainnya, itu tugas orang lain. "Tugas advokat, lembaga institusi negara atau LSM, banyaklah. Tapi untuk saya, ini kontribusi saya sebagai storyteller. Bahwa kejadian ini benar terjadi dan saya menceritakannya. My main aim is to tell this story with integrity. And I always, in everything that I do, semua menyuarakan sudut pandang perempuan."
Yang dilakukan Rani, bercerita tentang Mei '98 dengan cara yang ia pahami dan kuasai. Lewat karya. Agar kisah ini tidak pudar ditelan waktu. Tanpa penyelesaian, tanpa pengakuan. Bahkan hingga kini, 20 tahun setelah tragedi berdarah itu terjadi.
Itu juga mengapa Rani memilih untuk mengemas kembali Chinese Whispers dalam bentuk novel grafis digital. Salah tujuan utamanya untuk bisa menjangkau anak muda yang mungkin tidak tahu banyak soal Mei '98. Bayangkan, bagaimana anak muda bangsa ini bisa mengakui adanya tragedi berdarah itu sebagai bagian dari sejarah bangsa jika banyak dari mereka bahkan tidak tahu sama sekali soal Mei'98!
Cerita dan kebenaran kerusuhan Mei '98 seperti terus diburamkan dan mungkin ingin sengaja dilupakan. Generasi pertama yang mengalami langsung peristiwa tersebut pun tampaknya belum pulih seutuhnya, belum memiliki kekuatan melawan trauma untuk mereka bisa menceritakan ke generasi selanjutnya.
"Waktu saya mementaskan Chinese Whispers dalam bentuk pertunjukan instalasi itu, banyak sekali anak muda Tionghoa yang datang karena saya mengundang mereka secara khusus. Dan beberapa dari mereka sempat cerita sama saya bagaimana orang tua mereka tidak pernah membahas tentang apa yang terjadi waktu Mei '98. Mereka berterima kasih langsung kepada saya dan bilang, 'Kak Rani, thank you so much for making this works because now we can have story that we can pass on'.”
Rani, seperti halnya masyarakat Tionghoa lainnya yang ikut jadi saksi Mei '98 mengalami secara langsung, mengingat secara langsung dan merasakan takut dan cemas secara langsung. "Itu kan trauma, ya. Saya enggak bisa menyalahkan mereka bahwa mereka enggak mau cerita ke anak-anak mereka dengan detil."
Kenyataan bahwa apa yang terjadi di Mei '98 tak diceritakan tuntas bahkan oleh para saksi sejarahnya membuat Rani kecewa. Bagaimana generasi masa kini tahu sedikit, bahkan tidak tahu sama sekali soal Mei '98. "Mereka tahu sedikit tentang reformasi. Mereka tahu tentang perubahan kekuasaan. Mereka tahu ada kejadian-kejadian politik. Tapi bahwa ada pertumpahan darah, pemerkosaan massal, kerusuhan dan seterusnya, itu sama sekali mereka enggak tahu."
Rani cukup beruntung. Saat kerusuhan Mei '98 terjadi, orang tuanya termasuk kalangan berkecukupan dan bisa langsung mengirimkan anak-anaknya belajar ke Australia. Tidak semua anak dari keluarga Tionghoa di Indonesia saat itu seberuntung Rani. Sekarang pun, ketika Rani menyuarakan Mei '98, ia dalam posisi yang diuntungkan karena ia bisa bersuara lebih lantang ketimbang mereka yang mengalami langsung kerusuhan tersebut namun masih tinggal dan hidup di Indonesia.
"Saya bukan orang Tionghoa Indonesia yang tinggal di Surabaya, misalnya. Mungkin kalau saya tinggal di sana, hidup di sana dan saya tahu seperti apa dynamic di sana antar etnis, antar agama dan seterusnya, ya mungkin lebih aman kalau tidak bersuara. Kan konteksnya memang lain. Dan mungkin saya lebih berani berbicara karena saya lebih banyak di Melbourne dibanding di Jakarta. Meskipun saya sering bolak-balik."
Rani sadar, ia tak bisa mewakili suara masyarakat Tionghoa Indonesia lainnya. "Tapi saya berhak mewakili saya sendiri dan saya berhak membagi pengalaman pribadi saya. Karena itu Chinese Whispers berangkat dari pengalaman pribadi saya," ujarnya.