Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi pekerja pabrik rokok kretek. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)
Ilustrasi pekerja pabrik rokok kretek. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Intinya sih...

  • Fenomena rokok di Indonesia contoh Serakahnomics

  • Konsumsi rokok menurun tak bakal merusak ekonomi

  • Paradigma pemerintah di RAPBN 2026 menuai kritik

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Center of Human and Development Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (CHED ITBAD) menyoroti dilema penerimaan negara dari cukai rokok, dengan biaya sosial dan kesehatan yang harus ditanggung masyarakat akibat konsumsi rokok.

Senior Advisor CHED ITBAD, Mukhaer Pakkanna menekankan, industri rokok justru memperkaya diri melalui eksploitasi kelompok rentan. Surplus ekonomi keluarga miskin banyak dialihkan ke industri rokok.

"Industri rokok menjadi kaya raya berkat kontribusi masyarakat miskin, petani tembakau, buruh industri, bahkan anak-anak yang menjadi konsumen,” ungkap Mukhaer, dalam keterangan resmi, Sabtu (23/8/2025).

Mukhaer juga mengingatkan bahwa kendala terbesar pengendalian rokok di Indonesia bukan semata aspek ekonomi, melainkan politik. Industri rokok memiliki lobi politik yang kuat, bahkan hingga level desa.

"Intervensi industri tembakau (Tobacco Industry Interference/TII) adalah hambatan utama dalam pengendalian tembakau,” ujar dia.

1. Fenomena rokok di Indonesia contoh Serakahnomics

Kepala Pusat Studi CHED ITB-AD, Roosita Meilani Dewi. (Dok. CHED ITB-AD).

Sementara itu, Kepala Pusat Studi CHED ITB-AD Roosita Meilani Dewi menyebut, fenomena ekonomi rokok di Indonesia sebagai bagian dari Serakahnomics.

Roosita menekankan, industri rokok justru hanya mengeksploitasi konsumen kecanduan, membuat masyarakat terkunci dalam pola konsumtif.

“Mereka sengaja menyasar anak-anak, remaja, perempuan, dan kelompok miskin. Industri meraup untung besar, tapi biaya kesehatan dan sosial dipindahkan ke masyarakat,” kata Roosita.

2. Konsumsi rokok menurun tak bakal merusak ekonomi

ilustrasi pertumbuhan ekonomi (IDN Times/Aditya Pratama)

Sementara itu, Ekonom Universitas Indonesia Abdillah Ahsan menegaskan, turunnya konsumsi rokok tidak merusak ekonomi, melainkan menguatkan daya tahan bangsa.

Menurut dia, konsumsi rokok yang menurun membuat masyarakat lebih sehat dan produktif, sehingga ekonomi kita lebih kuat.

“Jika masyarakat berhenti merokok, pengeluaran rumah tangga akan dialihkan ke pendidikan, gizi, dan kebutuhan produktif lainnya,” kata Abdillah.

3. Paradigma pemerintah di RAPBN 2026 menuai kritik

ilustrasi pertumbuhan ekonomi (IDN Times/Arief Rahmat)

Sementara itu, Praktisi Kesehatan Lily S. Sulistyowati mengkritisi paradigma pemerintah yang masih mengandalkan cukai rokok dalam RAPBN.

“Negara masih menempatkan rokok sebagai penopang penerimaan. Padahal biaya kesehatan akibat rokok 2–3 kali lipat lebih besar dibanding penerimaan cukai,” kata Lily.

Menurut dia, paradigma kesehatan publik seharusnya menitikberatkan pada pencegahan. Karena pengendalian tembakau tidak serius, peningkatan anggaran kesehatan hanya ibarat menimba air di kapal bocor.

Public health harus fokus pada promotif dan preventif agar masyarakat sehat tetap sehat. Kalau pengendalian tembakau tidak serius, peningkatan anggaran kesehatan hanya ibarat menimba air di kapal bocor,” kata Lily.

Editorial Team