Jakarta, IDN Times - Pemerintah menargetkan Indonesia bebas tuberkulosis (TBC) pada tahun 2030. Di atas kertas, target itu terdengar ambisiusdan sekaligus mulia. Namun di lapangan, perjuangan menuju eliminasi penyakit menular itu masih bergantung pada segelintir orang yang jarang disebut dalam berita: para kader TBC.
Mereka bukan dokter, bukan pegawai negeri, tetapi wajah terdepan dari upaya penanggulangan TBC di lingkungan paling bawah. Tanpa seragam resmi, tanpa gaji tetap, berjalan dari satu gang sempit ke gang lain, mereka mengetuk pintu-pintu rumah pasien, mendata, mengedukasi, dan memastikan rantai penularan bisa diputus. Salah satunya adalah Ike Minah.
Pukul sebelas siang, matahari di Warakas terasa menyengat. Jalan gang sempit di Kelurahan Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara, tampak lengang. Hanya suara knalpot motor yang sedikit berisik memecah keheningan siang itu, Senin ( 13/10/2025).
"Ayo mbak kita jemput pasien," ucap Ike Nimah pada IDN Times meminta untuk duduk di belakang di atas sepeda motor tuanya.
Di atas motor merah-hitamnya, Ike Nimah melaju perlahan, menembus panas dan sempitnya gang, menuju rumah pasien TB yang sudah menunggunya. Dengan masker hijau menutupi wajah dan tas kain putih bergambar hati merah di bahunya, Ike tak pernah lelah menapaki jalan yang mungkin dihindari banyak orang.
“Jam segini panasnya luar biasa, tapi saya harus jalan. Ada pasien yang belum saya tengok dan ambil dahaknya” ujarnya sambil menyeka keringat di dahi.
Ike berhenti di sebuah rumah bercat hijau. Sambil membawa selembar kertas di tangan berisi alamat pasien TBC. Nafasnya sedikit terengah, tapi matanya tetap ramah di balik masker hijau yang menutupi wajahnya.
“Assalamualaikum, Bu…” sapanya lembut.
Seorang perempuan keluar, tampak kaget melihat kedatangannya. Ia tak menyangka rumahnya didatangi petugas kesehatan, padahal belum pernah melapor ke puskesmas.
“Iya, saya dapat datanya, Bu. Meski Ibu belum lapor, suaminya tercatat sebagai pasien TBC. Saya ke sini mau ambil dahak, ya. Di rumah ini ada berapa orang, Bu?” katanya pelan, menjaga agar suaranya tetap menenangkan.
Ike mengeluarkan lima toples kecil untuk diberikan pada perempuan tersebut. Dan meminta untuk memberikan dahaknya esok hari.
"Besok saya ambil ya Bu mau dites semua," katanya.
Perjalanan Ike belum berakhir. Ia kembali menyalakan motornya dan menyusuri gang-gang sempit di Warakas, yang hanya cukup dilewati satu motor. Udara panas bercampur debu menyambutnya.
