Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid (IDN Times/Axel Jo Harianja)
Beberapa aktivis HAM pun mengecam langkah Polri karena telah menangkap Robertus. Mereka juga menilai, penangkapan Robertus tidak memiliki dasar dan mencederai negara hukum dan demokrasi. Oleh karenanya, mereka juga menuntut kepolisian agar Robertus segera dibebaskan demi hukum dan keadilan.
Tim advokasi kebebasan berekspresi mengecam langkah Polri menangkap aktivis dan akademisi, Robertus Robet, dengan pasal berlapis.
Hal ini disampaikan salah satu anggota tim yang juga koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yati Andriyani, melalui keterangan tertulis yang diterima IDN Times, Kamis (7/3) pagi.
"Penangkapan terhadap Robertus Robet tidak memiliki dasar dan mencederai negara hukum dan demokrasi," ujar Yati dalam keterangannya.
Yati menilai, Robertus tidak sedikitpun menghina institusi TNI. Dalam refleksinya, Robertus justru mengatakan mencintai TNI dalam artian mendorong TNI yang profesional. "Baginya, menempatkan TNI di kementerian sipil artinya menempatkan TNI di luar fungsi pertahanan yang akan mengganggu profesionalitas TNI seperti telah ditunjukkan di Orde Baru," jelas Yati.
Menurut Yati, Aksi Kamisan itu menyoroti rencana pemerintah untuk menempatkan TNI pada kementerian-kementerian sipil. Rencana ini dikatakan Yati, jelas bertentangan dengan fungsi TNI sebagai penjaga pertahanan negara sebagaimana diatur Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 dan amandemennya, UU TNI & TAP MPR VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Hal ini juga berlawanan dengan agenda reformasi TNI.
Penangkapan kepada Robertus Robet dijelaskan Yati menjadi ancaman bagi kebebasan sipil di masa reformasi. Pertama, Robertus tidak menyebarkan informasi apapun melalui elektronik karena yang dianggap masalah adalah refleksinya.
Kedua, refleksi yang memberikan komentar apalagi atas kajian akademis atas suatu kebijakan tidak dapat dikategorikan sebagai kebencian atau permusuhan.
"Ketiga, TNI jelas bukan individu dan tidak bisa "dikecilkan" menjadi kelompok masyarakat tertentu karena TNI adalah lembaga negara," jelasnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut Yati yang mewakili Tim Advokasi Kebebasan Pers menyatakan, penangkapan terhadap Robertus Robet tidak memiliki dasar dan mencederai negara hukum dan demokrasi.
"Oleh karenanya Robertus Robet harus segera dibebaskan demi hukum dan keadilan," katanya.
Selain itu, Pengajar Hukum Pidana Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Miko Ginting menilai, penangkapan dan penetapan tersangka kepada Robertus sebagai bentuk Kesewenang-wenangan.
Miko mengatakan, tindakan penangkapan yang dilakukan pada tengah malam di kediaman RR (Robertus Robet) sama sekali tidak berdasar. Penangkapan, menurut Kitab Undang-Undang (UU) Hukum Acara Pidana, dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan.
"Tidak ada satu pun kepentingan pemeriksaan yang mendesak untuk dilakukan pada tengah malam dan tindakan ini cenderung tidak manusiawi," lanjutnya.
Oleh karena itu, Miko kembali menegaskan, penetapan RR sebagai tersangka dan penangkapan terhadapnya adalah bentuk kesewenang-wenangan.
"Apabila diteruskan, ini akan berujung ketidakpercayaan publik pada penegakan hukum. Sebaliknya, kepolisian seharusnya bisa menunjukkan peran dalam memberikan perlindungan terhadap RR dan keluarganya, alih-alih memproses RR dengan delik yang sama sekali tidak tepat dan tidak berdasar," tutup Miko menjelaskan.
Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid, pun angkat bicara. Penangkapan Robertus dinilai mendorong polisi untuk bertindak sebagai alat untuk merepresi kebebasan berpendapat. Apalagi, ia mengatakan, kepolisian bukan hanya menangkap, melainkan juga menetapkan Robert sebagai tersangka.
“Yang seharusnya dilakukan oleh polisi adalah melindungi Robet yang telah menggunakan haknya untuk menyatakan pendapat secara damai dalam mengkritik TNI, bukan menangkap dan menetapkannya sebagai tersangka," kata Usman dalam pernyataan resminya, Kamis (7/3).
Usman mengatakan, kepolisian tidak boleh bertindak sebagai alat represi terhadap orang-orang yang menyampaikan kritik secara damai. Ia mengatakan kritik yang dilontarkan Robertus terhadap militer bukanlah suatu tindak pidana, melainkan sesuatu yang lumrah dalam suatu negara yang mengklaim menjunjung kebebasan sipil seperti Indonesia.
"TNI harusnya memandang kritik Robet dorongan untuk melakukan perbaikan seperti yang dimandatkan oleh reformasi,” kata Usman.
Ia mengatakan apa yang dialami oleh Robertus adalah suatu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Negara seharusnya memberikan perlindungan terhadap siapapun yang ingin menyuarakan pendapatnya secara damai.
Untuk itu, Amnesty International mendorong kepolisian segera dan tanpa syarat membebaskan Robertus Kepolisian juga wajib memberikan perlindungan bagi Robet dan keluarganya dari segala kemungkinan ancaman.
“Kepolisian harus menghentikan penyidikan kasus Robet karena apa yang dilakukannya hanyalah menggunakan haknya sebagai warga negara untuk menyuarakan kritik secara damai,” ujar Usman.