Jakarta, IDN Times - Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (LBM Eijkman) 2014-2021, Amin Soebandrio, mengaku kecewa dengan peleburan Eijkman dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Sebab, kata Amin, keputusan itu menyebabkan mayoritas peneliti di lembaganya terhenti kontrak kerjanya. Di bawah aturan yang baru, BRIN hanya akan menerima peneliti berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
"Sesuai dengan peraturan baru ini, sudah tidak boleh lagi membayar peneliti berdasarkan kontrak atau honerer. Sementara, kami banyak merekrut research assistant (asisten peneliti) yang masih menyandang gelar S2," ujar Amin ketika dihubungi IDN Times melalui telepon, Senin (3/1/2022).
Padahal, kata Amin, mayoritas tenaga peneliti di Eijkman merupakan peneliti non-ASN. Meski demikian peneliti muda non-ASN ini memiliki rekam jejak pendidikan yang luar biasa. Untuk bisa diterima sebagai asisten peneliti di Eijkman perlu melewati seleksi yang dilakukan secara terbuka.
"Kami memang sengaja memilih orang-orang dengan kemampuan yang sangat bagus dan berhasil melewati persyaratan yang ketat. Buat kami adalah kualitasnya, rekam jejak pendidikannya dan keterampilannya. Sementara, kalau harus menunggu asisten peneliti ASN, kan tidak setiap waktu dilakukan rekrutmen," kata dia.
Kendati, kata Amin, bagi peneliti muda tersebut mereka memiliki kebanggaan tersendiri bisa bekerja di Eijkman. Sementara, dari 113 tenaga peneliti yang ada di Eijkman, sebanyak 71 di antaranya adalah tenaga honorer periset.
Di sisi lain, meleburnya Eijkman ke dalam BRIN menyebabkan lembaga riset yang telah berdiri sejak 1888 itu tak lagi bisa berkontribusi terkait penanganan pandemik COVID-19. Kegiatan pengurutan genom dalam analisis tes swab PCR tak lagi bisa dilakukan Eijkman. Mengapa demikian?