Hasil Kajian Ombudsman RI: Terdapat Disharmonisasi Regulasi Jamsostek

Jakarta, IDN Times – Penyelenggaraan perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan menjadi concern Ombudsman Republik Indonesia untuk terus dioptimalkan. Melalui kegiatan diskusi publik yang diselenggarakan di Kantor Bupati Manggarai Barat pada Kamis (7/11), Pimpinan Ombudsman Robert Na Endi Jaweng menyerahkan hasil evaluasi dan kajian sistematik kepada Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Manggarai Barat, tokoh masyarakat dan tokoh agama, serta pihak BPJS Ketenagakerjaan.
Kajian yang menjadi rekomendasi kepada pemerintah tersebut menyatakan beberapa kondisi yang dapat menyebabkan kelompok pekerja informal dan pekerja rentan tidak dapat memiliki perlindungan sosial ketenagakerjaan. Salah satunya disharmonisasi regulasi di tingkat pusat dan daerah. Kebijakan pemerintah pusat seperti Instruksi Presiden No 2 Tahun 2021 telah mengatur optimalisasi jaminan sosial ketenagakerjaan (Jamsosnaker), tapi banyak daerah belum memiliki regulasi yang kuat untuk mendukungnya.
“Isunya memang di tingkat regulasi, berbicara secara nasional secara umum sebenarnya sudah komprehensif, problemnya di tingkat daerah, tidak banyak provinsi/kabupaten/kota punya regulasi. Kabupaten Manggarai Barat sudah ada, namun masih umum, ke depan kita harapkan Kabupaten Manggarai Barat itu menyusun perbup terkait pengalokasian dana bagi para pekerja rentan, seperti petani, nelayan, dan pekerja informal lainnya sehingga ada payung hukumnya,” jelas Robert Na Endi Jaweng kepada pers.
1. Pemda harus menyiapkan regulasi secara spesifik, khususnya pendataan pekerja informal
Secara nasional diketahui klasifikasi pekerja informal mendominasi status pekerja di Indonesia. Sekitar 59,17 persen dari jumlah pekerja di Indonesia atau 84,13 juta penduduk merupakan pekerja informal atau dalam sistem jaminan sosial pekerja informal dikategorikan sebagai Peserta Bukan Penerima Upah (BPU). Dalam klasifikasi tersebut, profesi petani dan nelayan merupakan profesi yang paling rentan terhadap risiko sosial-ekonomi seperti penyakit hingga kematian akibat kerja, kecelakaan kerja, hingga kesulitan ekonomi di masa tua.
Mirisnya, dalam situasi ringkih demikian, sebagian besar petani dan nelayan justru belum tersentuh skema jaminan sosial ketenagakerjaan. Baru sekitar 2 juta jiwa atau 6,9 persen dari jumlah petani se-Indonesia yang sudah menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Adapun jumlah BPU dari profesi nelayan baru mencapai 491 ribu jiwa atau 38,7 persen dari jumlah nelayan yang ada di Indonesia.
Merespons hasil kajian tersebut, Sekda Kabupaten Manggarai Barat Fransiskus Sales Sodo mengucapkan terima kasih atas evaluasi dan kajian Ombudsman terkait optimalisasi BPJS Ketenagakerjaan. Menurutnya, program jaminan sosial ketenagakerjaan ini sudah sejalan dengan program pihaknya dalam rangka pengentasan kemiskinan ekstrem.
“Saran dari Ombudsman, pemda harus menyiapkan regulasi secara spesifik khususnya pendataan pekerja informal yang nantinya akan di-cover oleh pemerintah daerah. Tahun depan kami akan meningkatkan kuota pekerja-pekerja informal yang rentan melalui APBD, kalau tahun ini kita sudah siapkan 1.000 pekerja, tahun depan kita harapkan bisa jauh dari pada ini,” ucap Fransiskus Sales Sodo