Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi (Rappler)

Oleh Yuli Saputra

BANDUNG, Indonesia —Dwi menjawab pertanyaan Rappler, "Apakah pernah mengalami diskriminasi?" dengan suara tercekat, Rabu 28 Februari 2018. Meski pertanyaan itu diajukan atas persetujuannya, namun tetap saja membuka luka di hati perempuan 40 tahun ini. 

Sebagai orang dengan HIV positif, Dwi menyadari, diskriminasi dan stigma akan selalu membayangi kehidupannya. Semasa gadis, ia siap menghadapi semuanya, bahkan mengungkap status dirinya, tanpa ragu. Namun ketika menjadi seorang ibu, Dwi mengaku tak sekuat dulu.  

"Kalau saya dapat stigma, saya sudah kuat sebenarnya. Meski pun anak saya negatif. Tapi kalau sudah urusan anak, saya sakit (hati). Ini (tentu) berdampak sama anak,” ujarnya dengan suara terbata-bata menahan tangis.

Demi melindungi si buah hati dari stigma dan diskriminasi, Dwi menyembunyikan status dirinya sebagai ODHA. Tetapi aktivitas Dwi di Rumah Cemara, komunitas bagi pecandu narkoba dan ODHA (orang dengan HIV/Aids), memunculkan selentingan bahwa dirinya terjangkit virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh itu. Lingkungan sekolah pun geger.

Dampaknya, Dwi dipanggil pihak sekolah yang meminta klarifikasi kabar soal penyakitnya. Walau Dwi memilih tidak mengakui statusnya, namun perlakuan itu baginya, bentuk dikriminasi terhadap ODHA.

Memang tidak terjadi tindakan yang ekstrim terhadap Dwi dan anaknya. Tapi Dwi merasa diasingkan. Ibu-ibu teman sekelas anaknya mulai menjauhi. Padahal, selama dua tahun ke belakang, Dwi cukup aktif terlibat di sejumlah kegiatan sekolah. Dengan terpaksa, Dwi menarik diri dari pergaulan sekolah anaknya. 

“Dari situ saya tidak mau lagi antar jemput anak. Dulu sering arisan, nganterin renang, semenjak dari situ saya sudah (tidak mau lagi ke sekolah), karena ibu-ibunya pun (memandang) curiga, sampai detik ini,” tutur Dwi yang mulai mengetahui statusnya pada 2004.

Dikucilkan keluarga

Kisah yang hampir serupa dituturkan Arif Gunawan. Bedanya, Arif mengalami diskriminasi yang lebih berat, dikucilkan oleh keluarga. Saat diketahui mengidap HIV positif stadium 4 atau sudah memasuki fase AIDS, keluarga mulai memisahkan peralatan makan dan pakaian Arif dengan anggota keluarga yang lain.

“Sakit hati pasti. Saya tinggal di situ, tapi seolah-olah tidak ada. Semua dipisahkan,” tutur Arif saat ditemui Rappler, di Bandung, Rabu, 28 Februari.

Meski sakit hati, Arif paham apa yang dilakukan keluarganya disebabkan ketidaktahuan. Pria 34 tahun itu lalu membagi informasi mengenai HIV/AIDS dengan berbagai cara, salah satunya memasang pamflet dan menyimpan brosur di rumah.

“Tidak bisa menyalahkan mereka sepenuhnya terkait perlakuan diskriminasi karena kitanya sebagai ODHA selalu menutup diri, merasa minder dengan status ODHA. Saya awal-awal seperti itu,” tutur Arif.

Yang Arif tidak paham, diskriminasi masih terjadi di layanan kesehatan. Beberapa kali Arif mengalami tindak diskriminasi di rumah sakit, di Subang, daerah asalnya. Arif menyadari ada perbedaan layanan antara rumah sakit di daerah dengan perkotaan, seperti Bandung, mulai dari perlakuan diskriminatif, fasilitas kesehatan, hingga pemahaman tenaga kesehatan. 

“Kota Bandung sudah lebih baik yah. Cuma memang yang saya rasakan (diskriminasi) bukan di Poli CST (Care, Support, and Treatment), tapi di poli lain. Di saat saya ada keluhan, dirujuk ke poli lain, tanggapannya beda. Perlakuan diskriminasi secara langsung enggak, cuma mulai dari tatapan, bahasa tubuh, bisik-bisik,” kata Arif.

Diskriminasi masih ada

Editorial Team

Tonton lebih seru di