Jakarta, IDN Times - Ajeng (bukan nama sebenarnya) kini bisa menikmati hari-harinya sebagai petani di salah satu desa di Indramayu, Jawa Barat. Kehidupannya lebih tentram ketimbang delapan tahun lalu, saat dia yang masih berseragam putih-biru dipaksa pergi ke KUA untuk menikah.
“Saya lebih memilih jadi petani kecil di desa daripada meneruskan rumah tangga di kota tapi kelaparan setiap hari,” kata Ajeng kepada IDN Times, Rabu (24/8/2022).
Pada 2014 lalu, Ajeng dipaksa menikah oleh orang tuanya dengan seorang tukang ojek di Jakarta. Saat itu, Ajeng yang masih berada di bangku kelas dua SMP tak diberi pilihan untuk meneruskan sekolah karena kondisi ekonomi yang melilit keluarga, sedangkan dua kakak laki-lakinya tetap meneruskan pendidikan SMA.
Semasa pernikahan, bagi Ajeng bukan masa yang mudah. Pindah ke Ibu Kota saat anak-anak sebagai seorang istri saat usia 14 tahun membuatnya sulit bergaul dengan ibu-ibu lainnya. Ajeng justru mendapat stigma negatif oleh lingkungannya di perkotaan.
“Aku menikah satu tahun dan diceraikan, keluargaku dikasih motor oleh keluarga dia (mantan suami), tapi aku lebih bersyukur setelah cerai,” ujar Ajeng.
Kasus perkawinan anak ini tak hanya terjadi di Indramayu. Di Lombok, NTB, perkawinan pada anak masih kerap terjadi.
Anjani (bukan nama sebenarnya) tiga tahun lalu juga mengalami pernikahan anak. Dia dibawa oleh kekasihnya yang saat itu berusia 17 tahun untuk menikah dan tinggal di rumahnya di Lombok.
Anjani saat itu masih berusia 16 tahun. Diiming-imingi kehidupan yang menyenangkan dalam pernikahan, membuatnya setuju melakukan perkawinan di usia belia.
“Tapi ternyata kehidupan pernikahan itu gak seenak yang dibayangkan, aku disuruh-suruh orang tua suamiku saat itu buat nyuci, bersih-bersih rumah, dan uang simpananku diambil,” kenang Anjani dalam International Coference on Indonesia Family Planning dan Reproductive Health (ICIFPRH) di Yogyakarta.