Basri juga memaparkan di luar negeri terdapat 3 cara memilih suara.
"Pertama, datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Ini pasti agak sedikit yang datang kadang-kadang 5 persen, karena tempatnya kan jauh-jauh ya dan segala macamnya, jadi yang datang sedikit.
Kedua, namanya KSK (kotak suara keliling) ini saya bicara spesifik di Malaysia ya, KSK (kotak suara keliling) atau dropbox ini biasanya terjadi 80 persen jadi perusahaan itu mengirim karyawannya untuk mengambil kotak suara kemudian dibawa ke tempat di perusahaan dan diberikan kepada peserta Pemilu untuk dicoblos , emudian dikembalikan kepada perusahaan itu. Biasanya ini yang maksimum
Ketiga adalah pos undi, jadi dikirim melalui pos, ini sedikit biasanya," papar Basri secara detail.
Basri mengungkapkan ada yang agak aneh khususnya di Kuala Lumpur.
"Biasanya waktu 2014 cuma ada 400ribu daftar pemilih sekarang tiba-tiba menjadi 600ribu, kenapa bisa bertambah? Sementara banyak yang dipulangkan ke Indonesia sekarang?", tanya Basri.
"Lalu, yang biasanya KSK (kotak suara keliling) atau dropbox yang banyak perusahaan yang datang mengambil, sekarang pos di balik komposisinya, datanya saya ada, komposisinya diubah. Jadi biasanya yang banyak itu KSK, kenapa jadi pos? Nanti pos ini akan sampai ke mana, jadi tanda tanya juga buat saya. Saya bertanya ini karena hal ini harus terbuka (fair) dikarenakan pos tidak efektif bagi saya," terang Basri lagi.
Menurut anggota Bawaslu RI, Mochammad Afifuddin, melalui pesan singkat yang diterima oleh IDN Times, modus kecurangan perolehan suara untuk dapil luar negeri di antaranya adalah potensi surat suara yang dikirim melalui pos sebab hal ini sulit untuk mengawasinya.
Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal jauh seperti di daerah perkebunan juga menjadi salah satu kerawanan dalam Pemilu luar negeri dan pengawas di Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri (TPSLN) juga harus diawasi.