Razman Arif Nasution bersama Sandi Butar Butar saat mendatangi Polres Metro Depok. (IDNTimes/Dicky)
Dugaan kasus korupsi pada Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kota Depok, bermula dari unggahan Sandi Butar Butar, tenaga honorer pada dinas tersebut di media sosial. Dia menumpahkan isi hatinya melalui media sosial adanya dugaan korupsi terkait pengadaan barang dan pemotongan pembayaran intensif.
Pria 31 tahun itu mengaku terpaksa nekat mem-posting adanya dugaan korupsi pada Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kota Depok karena merasa haknya tidak diberikan 100 persen. Atas aksinya tersebut mendapatkan intimidasi dari instansinya, bahkan sampai dijatuhi Surat Peringatan (SP).
"Iya saya mendapatkan SP tanpa alasan yang jelas, padahal saya kerja tepat waktu," ujar Sandi, Jumat, 16 April 2021.
Sandi menjelaskan, dugaan terjadinya korupsi salah satunya pengadaan sepatu kerja yang digunakan. Sepatu pengadaan 2018 disebut tidak sesuai pengadaan sepatu 2017.
Menurutnya sepatu yang diberikan pada pengadaan 2018 merek Ciarmy tidak dilengkapi besi yang berada di bagian depan dan bawah sepatu. Sedangkan sepatu pengadaan 2017 dilengkapi besi dan dinilai bagus untuk menunjang pekerjaannya.
"Kalau tidak besi apabila saat penanganan terdapat paku atau benda runcing akan menembus ke sepatu," ucap Sandi.
Untuk memastikan keterangan Sandi soal sepatu, Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kota Depok melakukan pengadaan barang melalui tautan ini ( https://sirup.lkpp.go.id/sirup/home/detailPaketPenyediaPublic2017/15529619).
Pada tautan tersebut, Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kota Depok melakukan belanja barang sepatu PDL, menggunakan anggaran APBD Kota Depok sebesar Rp199.750.000. Anggaran tersebut digunakan untuk membelikan 235 pasang sepatu PDL Pemadam Kebakaran.
Apabila anggaran tersebut digunakan semua untuk membeli 235 pasang sepatu, dapat diasumsikan satu pasang sepatu yang dibeli Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kota Depok sebesar Rp850.000. Untuk sepatu dengan jenis yang sama pada online shop, sepatu tersebut seharga Rp450 ribu.
Terkait terjadinya perbedaan harga sepatu yang dipersoalkan, Sandi enggan membenarkan karena merasa takut mengungkapkan. Dia menyerahkan sepenuhnya kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Depok yang telah melakukan pemeriksaan guna mengumpulkan informasi terkait pengadaan sepatu.
"Ya bisa di lihat sendiri perbedaan harganya, itu sudah di tangani Kejari dan saya sempat dimintai klarifikasi," kata Sandi.
Sandi menjelaskan, dugaan korupsi tidak hanya terdapat pada pengadaan sepatu namun pembayaran intensif hasil keringatnya melakukan penyemprotan disinfektan pada awal COVID-19. Menurutnya, selama penanganan penyemprotan disinfektan baru mendapatkan satu kali pembayaran.
"Baru satu kali saya menerima dengan pembayaran sebesar Rp850 ribu," ucap dia.
Padahal, lanjut Sandi, pada saat ia menerima pembayaran tersebut dan melakukan penandatangan tertera nominal Rp1,8 juta. Hal itu menjadi pertanyaan besar hingga mendorong dia meluapkan isi hatinya di media sosial.
Selain itu, Sandi yang telah bekerja sejak 2015 mendapatkan potongan pembayaran dari hasil gaji yang diterimanya tiap bulan sebesar Rp200 ribu.
"Saya mendapat gaji per bulan Rp3,4 juta dan dipotong dengan alasan pembayaran BPJS," kata dia.
Menurut dia, pembayaran BPS Kesehatan maupun Ketenagakerjaan telah ditanggung pemerintah, sedangkan dia harus membayar melalui pemotongan gajinya. Atas unggahannya di media sosial, Sandi kerap memenuhi panggilan Kejari Kota Depok.
"Iya tadi saya dipanggil lagi meminta keterangan saya, namun saya belum dapat menjelaskan silahkan tanya ke tim Kejari Depok," ucap Sandi.