Jakarta, IDN Times - Kuasa hukum terdakwa praktik jual beli jabatan di Kementerian Agama, Samsul Huda membantah kliennya, Haris Hasanudin menyuap mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muchammad Romahurmuziy dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Di dalam surat dakwaan Haris yang dibacakan oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (29/5), tertulis Haris turut menyerahkan duit senilai Rp70 juta usai namanya lolos menjadi Kepala Kanwil Provinsi Jawa Timur. Namun, Samsul menyebut baik Romahurmuziy dan Lukman tidak pernah meminta uang seperti fee atau suap.
"Tidak pernah Pak Menteri atau Pak Romi (Muchmmad Romahurmuziy) meminta sesuatu. Itu tidak pernah. Yang ada itu bentuk tradisi lama yang diambil dari Bahasa Arab, namanya "Bisyaroh"," kata Samsul yang ditemui di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada hari ini usai mendengar sidang dakwaan Haris.
Ia menjelaskan yang dimaksud "bisyaroh" adalah dana yang diberikan kepada para guru ngaji sebagai bentuk pesangon atau terima kasih.
"Dan itu betul dilakukan (oleh Haris)," tutur dia lagi.
Yang diklaim benar uang "bisyaroh" dan diserahkan oleh Haris yakni terdiri dari duit Rp5 juta, Rp250 juta dan Rp20 juta. Nominal terakhir diserahkan oleh Haris kepada Menag Lukman ketika ia mengadakan kunjungan kerja ke Pesantren Tebu Ireng, Jombang pada (9/3) lalu.
Lalu, apa pendapat KPK mengenai tradisi pemberian "bisyaroh" ini? Apakah hal itu masuk ke dalam kategori suap sehingga dinyatakan sebagai tindak pidana apabila diterima oleh penyelenggara negara?