Sudah menjadi hukum alam, di balik kebahagiaan selalu ada kedukaan. Di tengah kebahagiaan bekumpul bersama keluarga saat merayakan Hari Raya Idul Fitri 1440 Hijriyah dan pernikahan adik ku, ada sederet sosok yang hilang dari pandanganku. Mereka telah meninggal dunia.
Desember 2018 lalu pamanku meninggal dunia, karena serangan jantung. Dia bisa dibilang sebagai sosok yang dituakan dalam urusan tentang Islam di keluargaku, sekaligus tokoh masyarakat di kampungku. Tapi Lebaran tahun ini tanpa kehadiran dia.
Aku kerap berdiskusi soal Islam dengan dia setiap kali aku mudik. Sosoknya yang humoris dan komunikatif, membuat ku betah berlama-lama ngobrol dengan dia semasa hidupnya. Warga sekitar juga menyukai saat dia ceramah di langgar-langgar, karena banyak diselingi guyonan dan gaya bahasa sederhana yang mudah dipahami.
Enam bulan sebelumnya, kakak tertua ibuku alias budek ku juga tutup usia akibat komplikasi. Aku sangat terpukul. Meski tuna rungu dan wicara, dia banyak disukai anak-anak, termasuk aku sendiri. Dia begitu menyayangi anak-anak semasa hidupnya. Ia juga pekerja keras dan pandai mengerjakan kerajinan tangan. Hampir semua pekerjaan rumah tuntas jika di tangan dia.
Kenangan yang tak bisa hilang dari ingatanku, dia selalu menyimpan makanan untuk ku saat aku masih kecil. Semua keluarga besarku juga pernah diasuh dia semasa kecil. Hatinya bersih. Hingga akhir hayat nya, dia tidak menikah.
April 2018, ibu mertuaku juga meninggal dunia, setelah berjuang melawan kanker paru stadium IV hampir dua tahun. Semasa hidupnya dia dikenal sosok penyabar dan pantang mengeluh. Selama melawan kanker, dia hampir tak pernah mengeluh sakit, meski berkali-kali menjalani terapi chemo.
Selain penyabar, ibu mertuaku juga sosok multitalenta. Mantan anggota Paskibraka pada 17 Agustus 1981 itu juga seorang aktivis sosial dan seniman. Sikapnya yang ramah, membuat dia memiliki banyak teman. Hingga akhir hayat nya dia masih aktif di sejumlah organisasi sosial dan keagamaan.
Oktober 2017, ayah mertuaku meninggal lebih dulu. Kepergian ayah mertuaku menjadi pukulan besar bagi keluargaku--khususnya ibu mertuaku yang sedang berjuang melawan kanker paru, karena tidak mengalami sakit apa-apa sebelumnya. Tapi dokter memvonis, bapak mertuaku meninggal akibat serangan jantung.
Sebelum keempat saudaraku meninggal, ibu dan ayahku meninggal lebih dulu pada 2013 dan 2016. Perempuan yang aku sebut-sebut ibu selama ini, tak lain adalah bibiku yang telah mengasuh ku sejak umur enam bulan. Kakek dan nenekku juga tutup usia pada 2012 dan 2015.
Sedikit riwayat kakekku, ia selalu mengajarkan ku tentang agama dan kedisplinan. Berprofesi sebagai pedagang dan petani, dia selalu menjaga ketaatan pada syariah Islam. Meski dibilang fakir ilmu tentang Islam, tapi dia selalu mengamalkan dengan baik apa yang telah ia pelajari.
Salat malam tak pernah ia tinggalkan, dan selalu melaksanakan salat berjamaah di masjid, meski kondisi sakit. Sesibuk apapun dia tetap salat berjamaah di masjid. Bahkan, hingga akhir hayatnya dia masih rajin belajar tentang Islam dan selalu membawa buku catatan ke mana pun dia menghadiri pengajian. Yang jadi favorit ku adalah ketika dia bercerita zaman penjajahan Belanda yang tak jarang diselingi bahasa Belanda. Semua tinggal kenangan.
Makam seluas sekitar 20 meter persegi itu pun kini semakin penuh. Satu jam sudah aku berada di pusara orangtua dan keluargaku. Satu per satu aku singkirkan rumput dan dedaunan yang mengering di atas nisan mereka, dan lekas meninggalkan kuburan itu.
Tapi aku tak mau larut dalam kedukaan, aku menganggap ini semua sebagai pelajaran hidup yang berharga. Karena Allah SWT pasti punya rencana lain di balik peristiwa ini semua, seperti ucapan Albert Einstein, "Tuhan tidak bermain dadu."
Menurut Einstein, hanya ada dua cara untuk mengisi hidup, yaitu mengisi dengan berpikir semua yang ada adalah mukjizat, atau mengisi hidup dengan berpikir tidak ada mukjizat apapun dari semua yang ada.