Artikel ini merupakan hasil kolaborasi antara IDN Times dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Indonesia untuk mengangkat isu-isu penting yang berdampak signifikan bagi masyarakat, serta mendorong kesadaran dan aksi nyata demi tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG).
Masa depan ketahanan pangan laut Indonesia bertumpu pada lebih dari dua juta nelayan skala kecil yang menjadi penopang utama produksi perikanan nasional, menyumbang lebih dari 80 persen dari total hasil tangkapan ikan. Namun demikian, para pelaku utama inilah yang justru paling rentan terhadap guncangan perubahan iklim, keterbatasan akses infrastruktur, dan minimnya teknologi ramah lingkungan yang dapat meningkatkan produktivitas serta efisiensi usaha mereka.
Menjawab tantangan tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama United Nations Development Programme (UNDP) dengan dukungan pendanaan dari Pemerintah Jepang, secara resmi meluncurkan inisiatif Strengthening Livelihoods of Small-Scale Fishers and Promoting Sustainable Local Economic Development through the Blue Economy (seaBLUE). Program ini menjadi bagian dari implementasi Peta Jalan Ekonomi Biru Indonesia 2023–2045, dan selaras dengan arah pembangunan nasional Presiden Prabowo Subianto, yang menempatkan sektor kelautan dan perikanan sebagai motor penggerak pertumbuhan pedesaan dan ketahanan pangan nasional, yang tangguh, inklusif, serta selaras dengan prinsip keberlanjutan lingkungan.
“Inisiatif ini mencerminkan komitmen kami untuk membangun ekonomi kelautan dan perikanan yang lebih tangguh dan inklusif melalui pemberdayaan nelayan skala kecil serta penguatan sistem pendukungnya. Kami ingin memastikan bahwa nelayan, bahkan di wilayah terpencil sekalipun, dapat mengakses teknologi rendah karbon, pembiayaan, pelatihan, serta pasar yang layak. Masa depan mereka tak boleh lagi dibayangi ketidakpastian,” tegas Didit Herdiawan, Wakil Menteri Kelautan dan Perikanan RI.