Jakarta, IDN Times - Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI, Laksamana Muda (Purn) Soleman B Ponto, mengatakan di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tidak dikenal istilah Panglima TNI. Ia mengatakan tak lama usai kemerdekaan, Indonesia memiliki kepala staf gabungan dan panglima perang. Panglima angkatan militer tertinggi ketika itu berada di tangan presiden.
Menurutnya, konsep ini lebih tepat dibandingkan jabatan Panglima TNI seperti saat ini. Ponto mengatakan dalam pemilihan Panglima TNI rentan didominasi isu politis karena selain melibatkan DPR juga konsepnya tidak jelas. Kalimat "Panglima TNI dapat dipilih secara bergantian" adalah frasa yang rancu.
"Konsep Panglima di kita ini kan tidak jelas. Kekuasaannya ada di presiden, lalu panglima menggunakan kekuatan dari kepala staf angkatan. Akibatnya ketiga kepala staf angkatan itu kan berebut ingin menjadi Panglima TNI. Ini kan menyebabkan situasi yang tidak sehat di antara tiga matra itu," ujar Ponto dalam diskusi virtual yang diselenggarakan KontraS dan dikutip pada Selasa (9/11/2021).
Menurutnya, tulisan di dalam UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 hanya menyatakan Panglima TNI dapat dipilih secara bergantian dari tiga matra, bukan wajib melakukan rotasi.
"Kalau bergantian kan berarti bisa setelah (Panglima TNI) dijabat dari matra darat, lalu ke matra udara kembali lagi ke matra darat. Maka, kata-kata Pak Moeldoko sudah benar. Yang namanya bergantian memang seperti itu," kata dia.
Lantaran dijabat bergantian dan bukan ada rotasi, maka memicu terjadinya persaingan di kalangan internal TNI. "Persaingan yang tidak sehat sebenarnya," tuturnya.
Lalu, apakah perlu didorong untuk dilakukan revisi terhadap UU TNI supaya semua matra mendapatkan jatah yang rata di pucuk pimpinan TNI?