Jakarta, IDN Times - Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) periode 2002-2005, Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim mengakui di bawah kepemimpinannya, Indonesia pernah membeli empat jet tempur Sukhoi Su-27 flanker dan Su-30 Mk serta helikopter perang jenis MI-35. Pembelian itu dilakukan 2003 lalu di Moskow, Rusia dengan menggunakan metode imbal dagang. Metode ini diwujudkan dengan membayarkan sebagian secara tunai dan sisanya menggunakan komoditas.
Secara blak-blakan, Chappy ikut memberikan masukan agar membeli jet tempur dari Rusia, lantaran ketika itu Indonesia masih terancam embargo dari Amerika Serikat. "Pertimbangan ketika itu (membeli jet tempur Sukhoi-Su 27) adalah kita sedang diembargo AS dan kita tidak bisa berdiam diri karena sistem pertahanan kita tidak berjalan. Bagaimana caranya, ya terpaksa kita beli dari Rusia pada waktu itu," ungkap Chappy dalam diskusi virtual pada Kamis (17/2/2022).
Ia menambahkan ketika jumlah unit yang dibeli oleh Indonesia sedikit, Chappy mengaku banyak mendapatkan kritik pedas. Sebab, biasanya pembelian jet tempur, menggunakan satuan skadron. Satu skadron terdiri 14-16 jet tempur.
Ia menyebut ketika itu semula Indonesia berencana membeli satu skadron. Tetapi, realisasi pembelian dilakukan secara bertahap. Alhasil, yang dikirimkan ke Tanah Air hanya empat unit.
"Waktu itu, sempat ada pertanyaan sinis ke saya, apakah benar jumlah Sukhoi yang dibeli hanya empat unit. Saya jawab benar, karena itu sebagai wake up call saja, karena AS ketika itu menahan kita tidak bisa membeli spare part, makanya kita beli Sukhoi. Tapi, itu bercandaan ya. Tapi, itu bagian dari air diplomacy," kata dia.
Namun, 19 tahun kemudian, kondisi itu berubah. Kini, Indonesia sudah teken kontrak untuk membeli enam jet tempur Rafale buatan Dassault Aviation, Prancis. Bahkan, ke depan ada 36 unit lainnya yang bakal diborong.
Apakah membeli 6 unit jet tempur Rafale sudah dianggap tepat?