Ilustrasi eksekusi mati (IDN Times/Sukma Shakti)
Sesungguhnya penerapan hukuman mati bisa saja dilakukan sesuai dengan yang tertera di pasal 2 UU nomor 30 tahun 1999. Ada dua pasal yang tertera di pasal tersebut, yakni
(1.) Setiap orang yang secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
(2.) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana itu dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam kondisi krisis.
Itu sebabnya, menurut Saut, KPK harus mempelajari lebih dulu penerapan pasal pemberat tersebut.
"Soal faktor yang memberatkan atau meringankan itu nantinya kan akan menjadi pertimbangan jaksa penuntut umum (JPU). Kami akan lihat sejauh mana pasal pemberat itu bisa digunakan," kata Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang.
Kendati pada faktanya ada pasal tersebut, namun dalam kenyataannya sulit diterapkan. Berkaca ke kasus-kasus korupsi dana bencana di masa lalu, tidak ada yang menerapkan pasal tersebut. Teranyar, peristiwa Ketua Komisi IV sekaligus anggota Badan Anggaran DPRD Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Muhir yang diciduk oleh tim Kejaksaan Negeri Mataram pada (14/9) lalu. Ia tertangkap tangan menerima uang Rp30 juta sebagai bagian dari fee untuk pengurusan anggaran Rp4,2 miliar dalam APBD Perubahan 2018 untuk rehabilitasi (perbaikan) 14 gedung SD dan SMP.
Sebanyak 14 gedung sekolah tersebut rusak akibat gempa bumi mengguncang Lombok dan sekitarnya. Artinya, Muhir diduga meraup uang atas anggaran proyek rehabilitasi pasca-gempa Lombok. Ia langsung dijebloskan ke tahanan usai ditangkap oleh Kejari. Hingga kini, kasusnya belum dilimpahkan ke pengadilan.
Sementara, di kasus korupsi shelter untuk korban bencana tsunami di Banten, ketiga terdakwa dijatuhi vonis 1 tahun dan 3 bulan. Mereka juga diwajibkan untuk membayar denda Rp50 juta subsider pidana kurungan 2 bulan.