Jakarta, IDN Times - Saat pemerintah sedang fokus melakukan program imunisasi massal COVID-19 dengan vaksin CoronaVac, vaksinasi mandiri juga segera dilakukan. Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Rosan P Roeslani mengatakan, vaksinasi mandiri diperkirakan bisa dilakukan pada Maret 2021. Ada empat merek vaksin yang digunakan dalam vaksinasi mandiri yaitu Johnson & Johnson, Moderna, Sinopharm dan Sputnik V.
Namun, sejak Selasa, 16 Februari 2021, muncul petisi penolakan vaksinasi mandiri. Petisi di platform change.org itu diinisiasi epidemiolog dan ahli di bidang kesehatan, yaitu Pandu Riono (epidemiolog UI), Sulfikar Amir (sosiolog bencana dari NTU) dan Irma Handayani (inisiator laporCOVID-19). Ketiganya kompak mengatakan vaksinasi mandiri akan menyebabkan ketimpangan dan justru bisa memperpanjang pandemik COVID-19.
Maka, mereka mendorong agar Presiden Joko "Jokowi" Widodo membatalkan program vaksinasi mandiri. Hingga hari ini, petisi itu sudah diteken 56 orang dari 100 tanda tangan yang ingin diraih. Sulfikar sebelumnya berhasil membuat petisi serupa yang mendesak agar vaksin COVID-19 diberikan secara gratis.
"WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) pun berpendapat program vaksinasi yang dilakukan pihak swasta hanya menguntungkan dan mengutamakan masyarakat tingkat ekonomi menengah ke atas di perkotaan saja," demikian isi petisi tersebut.
Selain itu, kondisi yang terjadi saat ini, pasokan vaksin COVID-19 masih terbatas. Hal tersebut malah membuka peluang warga yang tinggal di daerah dan ekonomi menengah ke bawah yang rentan tertular COVID-19, tak diprioritaskan dalam pemberian vaksin.
"Karena itu, lewat petisi ini, kami meminta Presiden Jokowi, Menkes Budi Gunadi Sadikin, dan Menteri BUMN (Badan Usaha Milik Negara) Erick Thohir agar membatalkan program vaksinasi mandiri," kata mereka.
Apakah ini berarti, pihak swasta tak boleh dilibatkan dalam program imunisasi massal COVID-19?