Jakarta, IDN Times - Epidemiolog dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman, mendesak pemerintah menyetop penggunaan Ivermectin untuk terapi COVID-19. Sebab, hingga kini belum terbukti secara klinis bisa membuat pasien COVID-19 kembali pulih.
Apalagi, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sempat menemukan banyak pelanggaran pembuatan Ivermectin di PT Harsen Laboratories. Pabrik yang berlokasi di Jalan Raya Bogor, Jakarta Timur, itu memproduksi Ivermectin 12 miligram dengan merek Ivermax 12.
"Apa pun itu, kalau tidak sesuai dengan prosedur apalagi ilegal, maka harus dihentikan. Itu tugas pemerintah. Pemerintah wajib menjaga kesehatan masyarakat," ujar Dicky ketika dihubungi pada Minggu (4/7/2021).
Ia pun mengingatkan pemerintah berhati-hati dan mengawasi peredaran Ivermectin. Jangan sampai karena pemerintah panik karena kasus COVID-19 melonjak, Ivermectin justru dibiarkan beredar tanpa pengawasan ketat.
Apalagi Kementerian Kesehatan sudah menetapkan batasan harga teratas Ivermectin 12 miligram per butirnya Rp7.500. BPOM pun sudah menegaskan sejauh ini pihaknya masih meneliti keampuhan Ivermectin untuk mengobati pasien COVID-19.
"Di tengah kepanikan ini banyak orang yang berpikirnya pendek, tidak berbasis sains. Kalau sedang panik kan apa-apa dianggap benar. Padahal, belum ada ada bukti secara ilmiah," katanya.
Apa saja deretan pelanggaran PT Harsen Laboratories berdasarkan hasil inspeksi BPOM?