Pelajar PPU: Duduk di Kelas Akhir dan UN seperti Masuk Dunia Kelam

Sebelum pelaksanaan UN pelajar merasa ketakutan

Penajam, IDN Times - Sejumlah pelajar di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) mendukung Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim untuk menghapus Ujian Nasional (UN) di tahun 2021 mendatang, dan diganti dengan Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI).

"Saya secara pribadi dan mewakili sejumlah teman - teman pelajar di Kabupaten PPU, saya mendukung kebijakan Bapak Mendikbud Nadiem Makarim untuk menghapus UN dan diganti dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter," ujar Nisa alumi SMPN 1 Penajam yang kini duduk di kelas 10 SMKN 2 PPU.

Ia menuturkan, ketika dirinya sekolah di SMPN 1 Penajam dan duduk di kelas 9, ia merasa ketakutan dan stres, karena sebelum UN seluruh siswa harus melalui sejumlah ujian semester hingga tiga kali  try out. Hari - harinya penuh dengan kegiatan belajar di rumah dan menyita waktu untuk beristirahat.

"Saya ketika itu takut dan merasa tertekan, takut nilai jelek dan tidak bisa melanjutkan ke SMA atau SMK negeri. Tak jarang saya sulit tidur karena memikirkan sejumlah ujian itu," ungkapnya.

1. Siswa kelas akhir kelabakan tiap hari belajar ekstra

Pelajar PPU: Duduk di Kelas Akhir dan UN seperti Masuk Dunia KelamSiswi dan siswa SMAN 1 PPU saat mengikuti ulangan semester sebelum UAS dan UN digelar. (IDN Times/Ervan Masbanjar)

Senada dengan Nisa, alumni SMAN 1 Penajam yang kini tercatat sebagai mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Balikpapan, Hairul mengakui semua siswa yang duduk di kelas 12 sedikit kelabakan menghadapi UN, termasuk dirinya.

Pasalnya setiap hari harus belajar secara ekstra baik di sekolah maupun di rumah. Belum lagi masih ditambah tugas - tugas sekolah yang diberikan sejumlah guru dan wajib dikumpulkan.

"Kami seperti disuruh kerja paksa. Tak jarang saya harus bangun tengah malam untuk belajar atau mengerjakan tugas sekolah karena esok paginya dikumpulkan. Akibatnya saya kerap tertidur di dalam kelas saat proses belajar mengajar berlangsung," tukas Hairul.

Baca Juga: Pelajar Samarinda Setuju UN Dihapus, Penggantinya Harus Lebih Baik

2. Duduk di kelas akhir seperti masuk dunia kelam

Pelajar PPU: Duduk di Kelas Akhir dan UN seperti Masuk Dunia KelamPara siswi SMKN 2 PPU yang melakukan aktifitas di sekolahnya pasca pernyataan Mendikbud menghapus UN (IDN Times/Ervan Masbanjar)

Menurutnya, bagi pelajar baik SMP maupun SMA duduk di kelas akhir itu seperti masuk dunia kelam. Jangan harap bisa bermain layaknya anak - anak kelas dibawahnya. Sementara, masa usia sekolah lagi senang-senangnya bermain.

"Saya setuju UN itu dihapus saja dan mendukung Bapak Mendikbud, hal itu agar peserta didik dapat belajar tanpa merasa tertekan, sehingga perlu ada ujian berbentuk metode lain yang membuat pelajar lebih enjoy dalam menempuh pendidikan," katanya.                

Pendapat serupa juga disampaikan seorang siswi kelas 12 SMAN 1 PPU,  Lia. Ia mengatakan, seyogyanya UN sudah tidak perlu lagi dilaksanakan untuk tingkat SMA/SMK, lantaran menjadi beban siswa. Pasalnya mereka telah dibebani ulangan semester dan Ujian Akhir Sekolah (UAS) atau try out sebelum berlanjut ke UN.

3. Pelajar: terus terang kami stres hadapi UN

Pelajar PPU: Duduk di Kelas Akhir dan UN seperti Masuk Dunia KelamPara siswa dan siswi di SMKN 2 PPU yang menyambut suka cita atas dihapusnya UN (IDN Times/ Ervan Masbanjar)

"Terus terang kami sangat stres, dalam menghadapi UN itu. Belum lagi kita harus menjalani UAS yang juga harus menguras otak. Sementara nilai UN itu tidak dijadikan patokan kalau kita mau melanjutkan kuliah. Apalagi tidak juga dijadikan sebagai syarat dalam bekerja," ujar Lia.

Senada dengannya, Rahmat siswa kelas 12 SMKN 2 PPU menambahkan, sejumlah siswa di sekolahnya mengaku terus - terusan mendapatkan beban pikiran dalam menghadapi ulangan semester, UAS dan UN sehingga akhirnya banyak mereka yang tidak perduli dengan perolehan nilai mereka nanti. Karena yang dipakai adalah ijazah bukan hasil UN ketika bekerja maupun melanjutkan kuliah kelak sebagaimana diterapkan sejumlah Perguruan Tinggi.

"Kami yang telah mengikuti pendidikan di sekolah kejuruan targetnya supaya bisa cepat bekerja atau membuka usaha sendiri. Jadi memang setuju kalau UN itu ditiadakan saja, karena nilainya bukan jadi patokan dalam bekerja," tegasnya.

4. Siswa sekolah yang sangat merasakan stres UN

Pelajar PPU: Duduk di Kelas Akhir dan UN seperti Masuk Dunia Kelamilustrasi pelaksanaan UNBK (IDN Times/Ervan Masbanjar)

Menurutnya, jika ditanya siswa mana yang stres menghadapi UN, pasti hampir semua menjawab stres. Terkait dengan standar nasional kalau itu bisa menjamin pelajar bisa melanjutkan pendidikan tanpa di tes lagi atau bisa bekerja langsung mungkin ini menjadi hal yang berbeda.  

Siti Hasan, pelajar kelas 10 SMPN 1 PPU mengungkapkan, ia dan sebagian teman temannya sangat setuju kalau UN ditiadakan. Meskipun hasil UN dijadikan sebagai salah satu syarat kelulusan dan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, tetapi bukan menjadi patokan utama bisa diterima di sekolahan itu.

"Saat ini kan ada program Bina Lingkungan (BL) dan jalur prestasi di seluruh sekolah se- PPU, sehingga nilai UN tidak menjadi patokan, karena masih bisa diterima sekolah di SMAN maupun SMKN, begitu pula sebaliknya kalau nilainya tinggi belum tentu bisa diterima karena akan kalah dengan program sekolah itu," pungkasnya.

Baca artikel menarik lainnya di IDN Times App, unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb

Baca Juga: UN Jadi Beban, Siswi di Balikpapan: Nyaris Tak Ada Waktu Luang

Topik:

  • Mela Hapsari

Berita Terkini Lainnya