Ilustrasi Pajak (IDN Times/Arief Rahmat)
Kendati banyak program Jokowi yang memang sudah berjalan selama dua tahun ini, namun tak sedikit kebijakan pemerintah yang menuai kontroversi.
Selama masa pandemik, pemerintah terus mengganti aturan penanganan COVID-19. Mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level.
Ketidakkonsistenan pemerintah dalam penanganan pandemik itu pun menuai kritik dari banyak pihak, salah satunya Lapor COVID-19. LaporCovid-19 mencatat Jokowi terlambat merespons ketika muncul laporan mengenai virus corona baru yang menyebabkan radang pernapasan di Wuhan, Tiongkok.
Menurut mereka pemimpin negara lain bereaksi dengan cepat dan memperkuat surveilans serta deteksi dini. Kemudian, mereka juga menilai kebijakan COVID-19 selalu berubah-ubah.
Tak hanya itu, UU Ciptaker juga mendapatkan respons negatif dari masyarakat. UU tersebut dikritik karena lebih menguntungkan para pengusaha besar dan merugikan para buruh. Bahkan, gelombang penolakan itu disampaikan dalam Aksi May Day 2020.
Demonstrasi buruh juga menolak omnibus law tersebut yang digelar pada May Day. Serikat buruh dan pekerja menyatakan mundur dari tim teknis pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan, yang dibentuk Kementerian Ketenagakerjaan pada 14 Juli 2020. KSPSI AGN, KSPI, dan FSP Kahutindo mundur karena empat alasan.
Presiden KSPI Said Iqbal menyebut alasan pertama, tim hanya menampung masukan. Kedua, unsur Apindo dan Kadin tidak bersedia menyerahkan konsep tertulis. “Ketiga, ada batasan waktu sehingga tidak memberi ruang untuk berdiskusi secara mendalam, dan keempat, tim tidak bisa menyelesaikan substansi permasalahan yang ada di dalam RUU Cipta Kerja,” ujar Iqbal.
Selain itu, beberapa kebijakan Jokowi tengah disoroti. Sebab, beberapa kebijakannya yang saat ini tidak sesuai dengan pernyataannya terdahulu. Mulai dari soal kebijakan tax amnesty jilid II hingga anggaran Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang boleh menggunakan APBN.
Tax amnesty atau pengampunan pajak yang kini ada jilid kedua, diakomodir di Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sebelumnya, Indonesia memang pernah membuat kebijakan tax amnesty pada 2016-2017. Saat itu, Presiden Jokowi berjanji hanya melakukan tax amnesty sekali dan tidak akan terulang lagi.
Namun kenyataannya, saat ini pemerintah tetap mengeluarkan kebijakan tax amnesty jilid II. Program ini disebut sebagai pengungkapan sukarela wajib pajak (WP). Program pengungkapan sukarela wajib pajak memberikan kesempatan kepada WP untuk mengungkapkan secara sukarela harta yang belum dilaporkan dalam program pengampunan pajak 2016-2017 maupun dalam SPT Tahunan 2020.
Kebijakan selanjutnya yaitu terkait pendanaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung, Jokowi telah mengizinkan kereta cepat Jakarta-Bandung didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Padahal pada 2016, Jokowi menegaskan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tidak boleh menggunakan APBN. Sebelumnya, Jokowi mengatakan, anggaran diserahkan kepada BUMN. Pemerintah tak akan memberikan jaminan kepada BUMN dalam menjalankan proyek ini karena dilaksanakan secara business to business (B to B).
Terkait Jokowi yang terbuka pada kritik, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merilis catatan terkait dua tahun kepemimpinan Presiden Jokowi dan Wapres Ma'ruf Amin. Berdasarkan catatan KontraS, selama dua tahun mereka memimpin, warga semakin takut bersuara dan menyampaikan kritik kepada pemerintah.
KontraS mencatat ada 385 peristiwa pelanggaran kebebasan berekspresi. Dari angka itu, sebanyak 281 kasus bersinggungan institusi kepolisian. KontraS menyebut kepolisian menjadi institusi yang dominan dalam melakukan upaya pelanggaran kebebasan dan berekspresi.
"Pola pelanggarannya masih seputar pembubaran paksa yang diikuti oleh penangkapan sewenang-wenang," ungkap Deputi Koordinator KontraS, Rivanlee Anandar, seperti dikutip dari YouTube KontraS, Rabu (20/10/2021).
Berdasarkan data yang dikumpulkan KontraS, selama dua tahun jumlah penangkapan sewenang-wenang mencapai 137 peristiwa. Sedangkan, peristiwa pembubaran paksa mencapai 118. Rivan juga menyebut pembubaran paksa juga diikuti dengan tindakan represif aparat penegak hukum.
Rivanlee juga mengatakan polisi membubarkan demonstrasi atau penyampaian pendapat di masa pandemik COVID-19 dengan dalih memicu terjadinya kerumunan. Tetapi, di sisi lain, upaya penegakan hukum terkait kasus pelanggaran protokol kesehatan malah tebang pilih.