Kapal yang dinaiki warga Pulau Pari melintas di dekat kawasan pembangunan yang diduga merusak kawasan mangrove, terumbu karang dan padang lamun di Pulau Biawak, Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, Kamis (23/1/2025) ANTARA/Prisca Triferna)
Warga yang telah mengetahui adanya PKKPRL tersebut mengadukan dan meminta pendampingan kepada WALHI, KIARA, LBH Jakarta dan JKPP. Empat lembaga yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Pulau Pari (KSPP) ini menyoroti adanya dugaan maladministrasi dalam penerbitan PKKPRL oleh KKP.
Penerbitan PKKPRL yang tidak melibatkan partisipasi publik atau memberitahukan rencana pembangunan bertentangan dengan Pasal 5 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang mengharuskan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Asas Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Selain itu, ada dugaan pengabaian terhadap kerusakan ekosistem laut seperti padang lamun, terumbu karang, dan mangrove, yang bertentangan dengan Pasal 35 UU Nomor 27 Tahun 2007 dan Pasal 69 UU Nomor 32 Tahun 2009.
Serta adanya, keterlibatan TNI, khususnya Kodim, dalam pengamanan dan perintah pengerukan pasir bertentangan dengan UU TNI, yang mengatur TNI tidak boleh terlibat dalam bisnis dan harus menjaga profesionalisme serta mendukung pertahanan negara.
"Adanya dugaan keterlibatan TNI khususnya Kodim atas tindakan pengamanan dan perintah untuk melakukan pengerukan pasir dan pencabutan Keterlibatan TNI bukan hanya bertentangan dengan profesionalisme yang mengamanatkan TNI tidak berbisnis dan menjunjung tinggi HAM sebagaimana Pasal 2 huruf d Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI)," tulis KSPP.