Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Foto repro buku Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi - Biografi Resmi Pierre Tendean (IDN Times/Anabel Yevina Mulyadi Wahyu

Jakarta, IDN Times - Gerakan 30 September/PKI atau G30S/PKI yang menumpas enam jenderal dan satu perwira TNI Angkatan Darat tak lepas dari cerita kesatria seorang Kapten (Anm.) Pierre Andries Tendean.

Sang pahlawan yang gugur bersama enam jenderal tersebut rela menukar nyawa dengan Jenderal AH Nasution, saat Tjakrabirawa menggerebek kediaman Nasution.

Sementara, Jenderal Nasution menyelamatkan diri ke Kedutaan Besar Irak yang berada di sebelah kediamannya. Pierre Tendean yang dikira Nasution itu diikat dan dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Pierre Tendean ditembak empat kali dan diseret paling akhir ke sumur bersama jenazah enam jenderal lainnya. Saat itu usia Pierre baru 26 tahun.

Bagaimana sosok pemuda pahlawan Revolusi Indonesia tersebut? Berikut fakta Pierre Tendean dikutip dari buku Pierre Tendean oleh Masykuri dari repositori.kemdikbud.go.id.

1. Makna nama "Pierre" dan "Tendean"

(Foto repro buku Pierre Tendean karya Masykuri 1983/1984) IDN Times/Rochmanudin

Pierre Andries Tendean merupakan pria kelahiran Jakarta, 21 Februari 1939. Ia adalah putra dari pasangan seorang dokter bernama AL Tendean berdarah Minahasa, Sulawesi Utara, dan ibunya yang merupakan keturunan Belanda-Prancis. 

Nama ‘Pierre’ dalam bahasa Prancis bermakna kuat bagaikan batu, yang dapat diartikan sebagai suatu lambang ketegaran. Kedua orang tuanya memberikan nama Pierre, sebuah doa agar sang putra selalu tegar dan memegang teguh prinsip hidup. 

Kedua orang tuanya memberikan nama Pierre sebagai identitas dari ibunya, sedangkan Tendean merupakan nama ayahnya. 

Saat umurnya satu tahun, ayahnya dipindah tugaskan dari Jakarta ke Tasik, Jawa Barat. Tak lama kemudian, sang ayah jatuh sakit dan harus dirawat di Sanatorium Rumah Sakit Cisarua, Bogor. 

Setelah menjalani kehidupan beberapa tahun di Cisarua, keluarga Pierre pindah ke Magelang saat kedatangan tentara Jepang di Tanah Air. 

Di Magelang, AL Tendean menjabat sebagai Wakil Kepala Rumah Sakit Jiwa Keramat. Di Kota Magelang ini, Pierre melewati masa kanak-kanak sampai menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya.

Di dalam maupun di luar sekolah, Pierre Tendean sangat disayangi kawan-kawannya, karena sifatnya yang ramah. Pierre tidak suka membeda-bedakan kawan-kawannya. Ia dapat bergaul dengan semua lapisan masyarakat.

Pada usia enam tahun, Pierre dimasukkan ke sekolah dasar di Magelang sekitar tahun 1945 dan 1946, saat itu me­rupakan permulaan Revolusi kemerdekaan. Sekolah-sekolah belum dapat berjalan dengan teratur. 

Baik tenaga guru mau­ pun peralatan sekolah dalam keadaan kekurangan. Meski demikian, Pierre tidak pernah tinggal kelas. Hal ini menunjuk­kan dalam keadaan bagaimana pun ia dapat belajar de­ngan baik.

Pada tahun 1951, AL Tendean dipindahkan ke Se­marang untuk memimpin Rumah Sakit Jiwa, Tawang. Seluruh keluarganya, termasuk Pierre pun ikut pindah ke Semarang. 

Ketika itu, Pierre sudah duduk di kelas VI. Pada 1952, setelah lulus ujian, masuk Sekolah Lanjutan Pertama, Pierre diterima di SMP Negeri I Semarang.

Pendidikan di SMP ini pun dapat diselesaikannya dengan lancar, dan pada 1955 Pierre lulus. Dari 1955 hingga 1958, Pierre melan­jutkan pendidikannya ke SMA bagian B Negeri (sekarang SMA Negeri I) Semarang. 

2. Enggan mengikuti jejak karier sang ayah sebagai seorang dokter

Editorial Team

Tonton lebih seru di