Menurut Kompol M. Sianipar, Kapolsek Bekasi Kota, fenomena keberadaan polisi cepek bisa dimaklumi karena banyaknya area jalan atau rute lalu lintas yang belum bisa sepenuhnya dikendalikan atau dikontrol oleh polisi sepanjang hari. Apalagi jumlah jalan, rute lalu lintas dan jumlah kendaraan pun kian bertambah setiap harinya.
“Polisi juga sudah berkoordinasi dengan instansi terkait seperti Dinas Perhubungan untuk mengatur jalan-jalan yang masih membutuhkan banyak polisi agar berjalan dengan baik,” ujarnya saat ditemui Rappler beberapa saat lalu.
Terkait dengan peraturan, Sianipar sendiri mengatakan tidak ada peraturan khusus yang mengatur tentang polisi cepek. Sanksi juga tidak ada. Sebaliknya, polisi malah sudah sejak beberapa saat lalu mengumpulkan para polisi cepek untuk diberi arahan dan saran tentang apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Salah satunya yang ditekankan adalah bahwa mereka tidak diizinkan memaksa pengguna jalan untuk memberikan imbalan.
“Apalagi jika pak ogah itu meminta sesuatu demi kepentingan pribadi. Itu juga tidak bisa. Kalau ada orang yang memberi, ya dipersilakan, tapi polisi sudah memberi arahan kepada para polisi cepek,” tambah Sianipar yang mengaku juga mengetahui titik-titik di mana para polisi cepek ini beroperasi di wilayahnya. Karena itu ia pun rutin melakukan pertemuan dan pengarahan bagi para "polisi lalu lintas tak resmi" ini.
Berbeda dengan kondisi di Bekasi, di ibukota Jakarta, aturan soal keberadaan polisi cepek ini sebenarnya sudah tercantum di salah satu Perda tepatnya di pasal 7 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Aturan ini menyebut bahwa pada dasarnya setiap orang atau sekelompok orang yang tidak memiliki kewenangan dilarang melakukan pengaturan lalu lintas pada persimpangan jalan, tikungan atau putaran jalan dengan maksud mendapatkan imbalan jasa.
Kegiatan pengaturan lalu lintas ini dilakukan oleh orang perorang atau sekelompok orang yang terorganisir dengan maksud memperoleh imbalan uang.
Aturan Perda ini juga sudah menyebut soal sanksi yang bisa menjerat para pelanggar aturan, tepatnya di pasal 61 ayat (1) Perda 8/2007. Terhadap pak ogah atau polisi cepek yang melanggar ketentuan di atas, dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 10 (sepuluh) hari dan paling lama 60 (enam puluh) hari atau denda paling sedikit Rp 100 ribu (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 20 juta (dua puluh juta rupiah).
Tapi aturan Perda ini sebenarnya juga memuat pasal yang menyebut bahwa ada pihak-pihak yang berwenang untuk melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ketertiban umum.
Mungkin karena itu pula, pertengahan 2017 lalu sempat mengemuka wacana yang muncul dari Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya yang menyebut bahwa pihaknya akan merekrut para warga yang berprofesi sebagai polisi cepek untuk ikut secara resmi mengatur lalu lintas di jalanan ibukota. Bahkan Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Halim Pagarra saat itu menyebut bahwa pihaknya sudah mulai melakukan pembinaan terhadap sekitar 480 polisi cepek.
Para "polisi lalu lintas tak resmi" ini lantas tergabung dalam kelompok Sukarelawan Pengatur Lalu Lintas (Supeltas). Mereka dibekali jurus mengatur lalu lintas dan mengurai kemacetan di Jakarta. Tak lupa, mereka diajarkan soal peraturan berlalu lintas.
Afendi, polisi cepek yang beroperasi di area Bekasi membenarkan soal Supeltas ini. Ia sendiri mengaku sudah bergabung di Supeltas sejak tahun 2017 lalu. Meski sehari-harinya, Afendi beroperasi di jalanan kota Bekasi, tepatnya di perempatan Bekasi Timur menuju Jakarta.
Bekerja sejak 1999, Afendi mengetahui adanya peraturan yang melarang keberadaan polisi cepek. Tapi karena sudah "direkrut" oleh Polsek setemat sebagai Supeltas, Afendi tak khawatir dengan profesinya itu.
“Waktu itu saya diberikan arahan oleh Kapolsek untuk menjadi sukarelawan lalu lintas jadi saya sukarela lah mengatur jalanan dan boleh menerima uang asal tidak memaksa karena ada sanksinya,” jawabnya saat ditanyai Rappler beberapa saat lalu.
Afendi yang sehari-harinya bekerja selama 2 jam menggunakan penghasilannya untuk memnuhi kebutuhan keluarganya. Berbeda dengan Aditya, Afendi mengaku hanya menghasilkan Rp 50 ribu ketika jalanan sedang ramai dan Rp 30 ribu ketika jalanan sedang sepi.