Filsuf Karlina Supelli dalam acara Haul ke-14 Gus Dur bertema "Meneladani Budaya Etika Demokrasi Gus Dur" (Tangkapan layar kanal NU Online)
Seperti dikatakan Gus Dur, kata Supelli, demokrasi di Indonesia sekarang ini belum sepenuhanya terwujud, tetapi harapan untuk menjadikan Indonesia lebih baik, yang memenuhi cita-cita itu ada. "Tetapi cita-cita itu sekarang masih di ufuk, ujung," ujar dia.
Tak hanya itu, menurut Supelli, kedaulatan hukum sekarang ini juga dibajak. Padahal, hukum itu menjadi tolak ukur sebuah kebijakan adil atau tidak.
"Sekarang ini banyak orang terlena, beberapa tahun ini. Bahaya tanda-tanda demokrasi itu terancam itu sudah ada sejak 2019. Undang-Undang KPK untuk antikorupsi itu direvisi. Tidak independen lagi, mau meriksa orang yang korupsi tapi lembaganya tidak independen," kata dia.
Lebih dari 2.500 tahun orang belajar demokrasi. Di Indonesia, kata Supelli, juga belajar demokrasi. Dia ingin belajar demokrasi dari Gus Dur yang sederhan tetapi sangat mendasar, yakni upaya bersama untuk memperbaiki kehidupan.
"Apa yang diperbaiki? Kesejahteraan, kemakmuran rakyat, intinya kemaslahatan bersama. Jadi kalau pemerintah mau mengatur harga minyak, pemerintah meminta persetujuan siapa? Persetujuan rakyat, karena sebenarnya pemerinah di sana mendapat tugas dari rakyat. Kedaulatan rakyat," ujar dia.
Gus Dur, lanjut Supelli, juga mengingatkan agar jangan salah sangka pada politik. Seakan-akan politik itu perbuatan kotor dari elite politik yang berebut kekuasaan. Gus Dur ini melihat politik itu luhur, karena ada tema perjuangan di dalamnya.
"Politik, kata Gus Dur, adalah kerja panjang yang mulia, mengapa? Karena melibatkan norma pilihan yang berdampak pada rakyat bersama. Kan dikatakan politik itu pengambilan keputusan, keputusan berdasarkan apa? Berdasarkan pilihan yang baik dan buruk, antara yang benar dan salah, memilih yang baik dan tidak," ujar dia.
Lantas apa tolak ukur memilih yang baik? Mengutip pemikiran Gus Dur, kata Supelli, tolak ukurnya adalah kepentingan dan kebutuhan rakyat. "Makanya, kata Gus Dur, pemimpin yang kehilangan arah untuk menentukan tolak ukur kepentingan atau kebutuhan rakyat, bukan lagi pemimpin, tetapi hanya penguasa."
"Karena tidak lagi memiliki moralitas politik, karena tidak melibatkan kepentingan rakyat, yang betul-betul prioritas utama. Jadi politik itu tidak kotor, perilaku sehari-hari itu yang kotor," sambungnya.