Rapat Paripurna DPR RI Ke-19 (IDN Times/Amir Faisal)
Sebelumnya, syarat pendidikan paling rendah SMA bagi calon anggota DPR/DPRD digugat ke MK. Gugatan ini dilayangkan Nanda Yuniza Eviani (Pemohon I) dan Muhammad Rafli Nur Rahman (Pemohon II) sebagai perseorangan.
Para Pemohon sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) merasa dirugikan hak konstitusionalnya untuk memperoleh kepastian hukum, perlindungan, serta jaminan kualitas legislasi yang baik dan berkeadilan akibat berlakunya Pasal 240 Ayat 1 huruf e Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Adapun bunyi pasal dan ayat yang dimaksud yakni, “(huruf) e. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat;…".
Pemohon dalam perkara Nomor 162/PUU-XXIII/2025 ini meminta agar syarat minimal pendidikan bagi calon legislator diubah, dari yang semula setingkat SMA menjadi S1.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Pemohon menyebutkan norma yang hanya mensyaratkan pendidikan paling rendah SMA bagi calon anggota DPR/DPRD, jelas tidak sepadan dengan kewenangan konstitusional lembaga legislatif yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Syarat pendidikan yang terlalu rendah tersebut tidak menjamin adanya kapasitas intelektual, kemampuan analitis, maupun kualitas legislasi yang memadai. Akibatnya, fungsi legislasi yang seharusnya melahirkan regulasi yang responsif, visioner, dan berpihak pada rakyat justru berpotensi menghasilkan produk hukum yang lemah, tumpang tindih, diskriminatif, dan abai terhadap kebutuhan masyarakat.
Di samping itu, para Pemohon menilai sebagai rakyat yang wajib tunduk pada setiap produk undang-undang, tidak memperoleh jaminan bahwa regulasi yang mengatur kehidupannya lahir dari proses legislasi yang dilakukan oleh wakil rakyat dengan standar kualitas yang tinggi. Sebaliknya, para Pemohon "dipaksa" menerima undang-undang yang bermutu rendah, yang langsung memengaruhi kehidupan mereka dalam aspek pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, hingga lingkungan hidup. Dengan kata lain, ketentuan Pasal 240 ayat 1 huruf e UU Pemilu telah membuka ruang bagi hadirnya parlemen dengan standar intelektualitas yang minimalis, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian serius bagi rakyat dan mereduksi makna sejati demokrasi konstitusional di Indonesia.
“Bila syarat legislator hanya dengan ijazah SMA, profesi yang hanya menafsirkan undang-undang seperti hakim, jaksa, advokat, wajib bergelar sarjana, sedangkan masuk akalkah jika pembentuk undang-undang justru cukup dengan lulusan sekolah menengah. Jika dibiarkan martabat Pasal 20 ayat (1) direndahkan, bahkan direduksi oleh ambang yang minimalis,” ujar Nanda sebagai Pemohon I dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (22/9/2025).
Para Pemohon merasakan keresahan mendalam akibat maraknya produk legislasi DPR/DPRD yang bermasalah dan berulang kali dibatalkan oleh MK. Kondisi ini bukan sekadar kelemahan teknis, melainkan bukti nyata bahwa rakyat dipaksa hidup di bawah bayang-bayang undang-undang yang rapuh, tidak konsisten, dan gagal memberikan perlindungan.
Hal ini mengakibatkan hak-hak dasar yang dijamin UUD 1945, seperti hak atas pendidikan yang layak, kesehatan yang terjangkau, lingkungan hidup yang baik, dan kesejahteraan sosial yang adil, justru terabaikan. Norma Pasal 240 ayat 1 huruf e UU Pemilu, yang hanya mensyaratkan pendidikan minimal SMA bagi calon anggota DPR/DPRD menjadi pangkal persoalan dalam hal turunnya standar parlemen menjadi sekadar arena popularitas dan transaksi politik, bukan ruang intelektualitas dan integritas.
Untuk itu, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 240 ayat 1 huruf e UU Pemilu, bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai Pasal 240 huruf e "berpendidikan paling rendah lulusan sarjana strata satu (S-1) atau yang sederajat”.