Menurut Sudomo, gerakan mahasiswa yang berujung kerusuhan Malari adalah bagian subversi menggulingkan pemerintahan yang sah. “Gerakan subversi politik untuk mencapai tujuannya menggunakan pola atau strategi yang terdiri atas tiga tahap: infiltrasi, pematangan revolusioner, dan peledakan,” demikian versi Sudomo.
Sebagai orang dekat Presiden, Sudomo menganggap dalam rangka pematangan revolusioner dilemparkan isu adanya persaingan keras di tingkat elite politik untuk memperebutkan calon pengganti Soeharto. Dua sosok jenderal dianggap bersaing, yaitu Pangkopkamtib Jenderal TNI Soemitro dan Letnan Jenderal TNI Ali Murtopo.
“Disamping itu dilemparkan pula isu bahwa Pemerintah terlalu 'menganakemaskan' Jepang dalam investasi di Indonesia. Barang-barang Jepang dianggap merajalela, menguasai pasaran domestik dan menekan usaha-usaha dalam negeri untuk mengembangkan industri nasional,” kata Sudomo lagi.
Ini versi lainnya, sebagaimana dimuat dalam Dokumen Ramadi, yang disampaikan oleh kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) Jenderal TNI Sutopo Juwono. Dalam buku Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (1998), Soemitro mengaku tak pernah mendengar nama Ramadi, apalagi mengenalnya.
"Menyesal saya tidak sempat mendapatkan dokumen tersebut namun isi dokumen katanya menokohkan saya, Soemitro, untuk diperhadapkan dengan Pak Harto sebagai rival," ujar Soemitro di buku itu.
Isi dokumen Ramadi menyudutkan Soemitro. Ia dianggap hendak mengambil alih kepemimpinan dari tangan Soeharto.
Sutopo Juwono menginformasikan, Ramadi dekat dengan Mayjen Soedjono Hoemardani, salah seorang Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto. Ramadi adalah pensiunan kolonel yang dijadikan pimpinan di Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI) oleh Soedjono.
Selain Soedjono, Soeharto juga memiliki Aspri lain, yaitu Letnan Jenderal Ali Moertopo. Pada masa itu, menjadi rahasia umum bahwa ada semacam persaingan di antara Soemitro dan Ali Moertopo untuk berebut pengaruh ke Soeharto.
Sejak medio 1960-an, Ali Moertopo memimpin Operasi Khusus (Opsus). Indonesianis asal Australia, Harold Crouch, mengatakan Opsus adalah lembaga yang bekerja untuk kepentingan presiden. Pengaruhnya merasuk ke mana-mana, termasuk menentukan siapa yang menjadi pengurus Dewan Mahasiswa di kampus-kampus.
Sesudah peristiwa Malari, Soeharto menghapus institusi asisten pribadi yang keberadaannya ditentang mahasiswa.