Aktivis dan akademisi membacakan surat penolakan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto di Kantor YLBHI, Jakarta, Selasa (4/11/2025). (IDN Times/Lia Hutasoit)
Utati mengungkap betapa istilah “bersih lingkungan” menjadi luka paling dalam bagi keluarganya. Status itu membuat anak dan cucunya dicap tidak layak, terhalang untuk bekerja atau bersekolah di tempat tertentu. Dia menceritakan bagaimana pasca-penahanan, setiap langkah diawasi ketat, bahkan untuk keluar kota pun harus melapor. Pengawasan dan pembatasan membuat hidup mereka seolah tak pernah benar-benar bebas.
Baru setelah reformasi 1998, dia dan rekan-rekannya mulai berani berkumpul tanpa rasa takut berlebihan. Meski begitu, trauma akibat pengawasan dan stigma masa lalu masih membekas kuat, menahan banyak korban dari keterbukaan penuh. Kini suaranya memang kembali muncul lewat Paduan Suara yang diikutinya, dia bergabung dengan Dialita.
Utati mewakili ratusan ribu orang yang ditangkap, ditahan, tidak pernah diadili, dan kemudian dibebaskan. Ketika dibebaskan harus mengucapkan pernyataan setia kepada negara, yaitu setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
"Mungkin kalau mau diangkat ya, ini maaf guyon aja, mungkin pahlawan untuk keluarganya sendiri atau pengikut-pengikutnya. Tapi kalau kami, kami tetap menolak. Mungkin cukup itu saja," katanya.