Kusoy, perantau terdampak pandemik corona di Depok (IDN Times/Rohman Wibowo)
Peristiwa lengsernya Suharto dari jabatan presiden jadi penanda waktu Kusoy mulai merantau dari tanah lahirnya di Majalengka, Jawa Barat. Artinya sudah dua dekade ia mengadu nasib di Kota Depok dan selama itu pula ia bergantung hidup sebagai penjual bubur ayam.
Saat masa awal perjuangan di tanah rantau, ia berjualan kaki lima hingga akhirnya usaha mulai berkembang dan mampu menyewa sebuah kios pada medio 2015. “Saya kawin dan ke Depok pas krismon (krisis moneter). Dulu sebelum punya kios, jualan bubur kaki lima, dari seporsi Rp300-500 perak,” ujar Kusoy di kiosnya, Jumat (22/5).
Dari ladang cuannya itu, ia biasa beroleh omzet paling banyak Rp1 juta rupiah tiap hari. Uang itu kemudian ia bagi untuk keperluan sewa kios, membeli bahan membuat bubur, kebutuhan hidup sehari-hari hingga membiayai pendidikan ketiga anaknya. Ketika pandemik tiba, lantas penghasilan Kusoy menyusut lebih dari setengah. Alhasil, ia lebih memilih untuk menutup kios, lantaran hasil penjualan tak kuasa menahan beban produksi.
“Pas corona cuma dapzt Rp300 ribu. Itu kotor. Mau gimana cukupnya. Kalau dulu kan sejuta bisa buat modal. Saya mending istirahat aja. Capek daripada gak ada untungnya,” keluhnya.
Selama masa hiatus, ia bertahan hidup dengan cara apa pun, termasuk banting setir menjadi pemulung.
“Buat makan, saya bingung mau gimana lagi. Sampai ngerongsok keluar jam 10 malam. Daripada maling, mending usaha mulung kardus,” ujarnya.
Namun profesi barunya itu tak sekonyong-konyong bisa menambal kebutuhan hidup. Pengalaman berjualan bubur berpuluh tahun kadung jadi satu-satunya keahlian sehingga memulung pun jadi sulit dilakoni, selain memang sampah tak gampang dicari saat pandemik ini, menyusul ‘lumpuhnya’ sebagian aktivitas (terlebih saat PSBB mulai) yang berdampak pada berkurangnya produksi sampah.
“Mau ngerongsok juga gak laku. Tapi itu kan bukan keahlian saya kan bisanya dagang,” tuturnya.
Getir hidupnya terus berlanjut. Setelah gagal memulung, lantas siasat untuk bertahan hidup pun jatuh pada pilihan meminjam uang. Ia terpaksa mengandalkan pinjaman uang dari saudaranya di kampung.
“Ngutang ke mpok (kakak) saya di kampung transfer ke sini Rp2 juta. Saya pulang kampung gak bisa, anak-anak juga di sini semua, saya pinjam dulu buat hidup di sini,” ucap Kusoy.
Bantuan dari sanak keluarga di kampung halaman itu bagai harapan satu-satunya di tanah rantau, ketika bantuan sosial (bansos) yang semestinya ia terima tak kunjung tiba. Ia mendgaku sudah didata oleh ketua RT setempat, akan tetapi tak ada satu pun bansos yang datang hingga jelang hari Lebaran. Padahal setidaknya, bansos bisa ia terima dari dua arah; bansos Pemerintah Provinsi Jawa Barat atau pemerintah pusat.