Meliana dan pengacaranya (Facebook/Ranto Sibarani)
Akibat putusan banding tersebut, Meliana batal menghirup udara bebas. Padahal, ia sangat berharap majelis hakim membuat keputusan berbeda, lantaran menurutnya, perempuan berusia 44 tahun asal Tanjung Balai itu tidak pernah menodai agama Islam.
Ranto menjelaskan, peristiwa yang bermula tahun 2016 lalu, hanya dari curhatan kliennya saat berbelanja di warung milik tetangga. Ia sempat mempertanyakan soal pengeras suara masjid di dekat rumahnya, yang akhir-akhir ini volumenya kian bertambah.
"Saat itu Bu Meliana curhat lah ke tetangganya tersebut. Dia waktu itu bilang: 'sekarang, suara masjid kita agak keras ya. Dulu gak begitu kan?' Udah begitu saja. Itu pun disampaikan dengan suara yang pelan," ujar Ranto kepada IDN Times pada (23/8) lalu.
Ia menepis pemberitaan di beberapa media soal adanya permintaan dari Meliana agar Kasini menyampaikan kepada sang ayah, yang mengurus masjid, agar mengecilkan suara pengeras azan.
"Malah pedagang itu yang secara spontan mengatakan akan menyampaikan kalimat itu ke ayahnya. Meliana tidak pernah meminta agar keluhan itu disampaikan ke ayahnya," kata dia.
Tetapi, alih-alih disampaikan ke ayahnya, tetangga Meliana, Kasini, justru menyampaikan cerita itu ke adiknya, Hermayanti. Kemudian muncul kalimat "si China itu meminta agar suara azan dikecilkan". Meliana diketahui memang keturunan Tionghoa beragama Buddha.
Dari Hermayanti baru disampaikan ke ayahnya, hingga kemudian tersebar isu Meliana melarang agar azan berkumandang. Gara-gara hal tersebut, Meliana menjadi korban persekusi. Rumahnya didatangi oleh sekelompok warga dan dibakar.
Ia pun terpaksa pindah ke Medan karena khawatir keselamatannya terancam. Kasus ini sempat menjadi perhatian nasional, lantaran Meliana adalah korban kesekian penggunaan pasal karet 156A yang berisi seseorang yang dengan sengaja menunjukkan perasaan atau melakukan perbuatan di depan umum, yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.