Untuk mencegah anak terlahir stunting, menurut Marroli, Kementerian Kominfo kini terus fokus menurunkan angka prevalensi stunting, hingga mencapai target 14 persen di tahun 2024. “Presiden menargetkan di tahun 2024, angka stunting di Indonesia harus berada di bawah 14 persen,” ujarnya.
Ia menambahkan, penurunan angka stunting saat ini merupakan momentum yang tepat karena Indonesia tengah menghadapi bonus demografi, kondisi di mana usia produktif jauh lebih banyak dibandingkan usia tidak produktif. “Bonus ini akan berakhir pada tahun 2045. Makanya sesuai instruksi Presiden kita lebih fokus membangun sumber daya manusia,” lanjutnya.
Sub Koordinator Hubungan Antarlembaga dan Lini-lini Lapangan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Provinsi Kalimantan Tengah, Djuwiyanto, yang hadir sebagai narasumber, menjelaskan bahwa angka pernikahan dini di Kalimantan Tengah cenderung tinggi.
“Persentasenya menurut pendataan keluarga di tahun 2021 berada pada angka 35 persen dari target 29 persen. Jadi memang masih tinggi” katanya.
Ia menambahkan bahwa banyak faktor yang menyebabkan pernikahan dini, seperti faktor budaya, sosial, agama, hingga ekonomi. Tetapi yang paling dominan saat ini adalah faktor pola asuh dan perkembangan teknologi informasi yang tidak sepenuhnya dicerna dengan baik oleh para remaja.
“Karena kita temui di keluarga-keluarga ada kecenderungan dalam memberikan edukasi seputar kesehatan reproduksi itu tabu. Tidak semua orang tua mengajarkan anak ketika beranjak dewasa untuk menjaga pergaulan. Remaja-remaja ini mengakses media sosial tidak terbatas, ditambah lagi lingkungan pergaulan yang tidak konstruktif dan positif, sehingga kecenderungan nikah dininya menjadi lebih besar,” jelas Djuwiyanto.