Jakarta, IDN Times - Kontroversi soal putusan Mahkamah Agung (MA) yang tetap memvonis mantan pegawai honorer SMAN 7 Mataram, Baiq Nuril Maknun kini tengah menjadi perbincangan di tingkat nasional. Banyak yang menyayangkan MA yang seharusnya bisa bersikap lebih peka justru menjatuhkan vonis bersalah terhadap korban pelecehan seksual.
Dalam putusan yang diterima oleh tim kuasa hukum pada Jumat pekan lalu, MA menganulir putusan di tingkat Pengadilan Negeri Mataram yang menyatakannya tidak bersalah. Nuril dinilai terbukti telah melanggar pasal 27 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tahun 2016. Atas perbuatan itu, Nuril kemudian divonis enam bulan penjara dan dikenai denda Rp500 juta.
Koordinator kuasa hukum Nuril, Joko Jumadi mengatakan pihaknya memang akan mengajukan peninjauan kembali. Namun, proses itu baru bisa ditempuh apabila Nuril sudah menjalani masa pidananya.
"Saya sampaikan ke Bu Nuril bahwa putusan PK baru akan kita terima setelah menjalani putusan pidana, karena proses PK juga memakan waktu yang cukup lama. Di sisi lain masa penahanan harus langsung dilakukan, tidak menunggu apakah kami akan mengajukan PK (Peninjauan Kembali) atau tidak," kata Joko kepada IDN Times pada Senin kemarin.
Namun, organisasi Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memiliki solusi lain yang bisa ditempuh selain opsi PK. Apa itu?