Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana (ANTARA News/Fathur Rochman)
ICW juga mengkritik proses penanganan perkara yang dilakukan KPK pada masa kepemimpinan Firli Bahuri. Menurut Kurnia, KPK sering menyembunyikan nama tersangka dengan alasan menunggu penangkapan atau penahanan.
Padahal, dalam Undang-Undang (UU) KPK tidak ada kewajiban bagi lembaga antirasuah untuk menutup-nutupi nama tersangka, ketika proses penanganan perkara sudah masuk proses penyidikan.
"Pasal 44 ayat (1) UU KPK sudah jelas menyebutkan bahwa dalam fase penyelidikan, KPK sudah mencari bukti permulaan yang cukup. Hal itu menandakan, tatkala perkara sudah naik pada tingkat penyidikan, maka dengan sendirinya sudah ada penetapan tersangka," jelasnya.
Jika kebiasaan itu terus dilakukan, kata Kurnia, maka KPK telah melanggar Pasal 5 UU KPK tentang asas kepentingan umum, keterbukaan, dan akuntabilitas lembaga.
Selain itu, Kurnia mengatakan bahwa kebiasaan baru KPK dalam menyidik perkara tanpa penetapan tersangka, akan semakin diperparah dengan kewenangan KPK mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU KPK.
"Pemerasan yang diduga dilakukan oleh penyidik KPK tersebut, patut diduga merujuk pada penghentian penyidikan lewat penerbitan SP3 oleh KPK," ujarnya.