Jakarta, IDN Times - Kasus dugaan penerimaan suap eks Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas), Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi sudah ditangani Polisi Militer (PM). Kasus dugaan suap itu akan disidangkan di peradilan militer.
Lembaga pengamat hak asasi manusia (HAM) Imparsial menilai, seharusnya kasus yang menjerat Henri dan bawahannya, Letkol Afri Budi Cahyanto, tetapi disidangkan di pengadilan umum.
Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengatakan, ada tiga pasal yang bisa dijadikan landasan hukum agar kasus dugaan suap itu bisa disidangkan di peradilan umum.
Ketiga landasan hukum itu adalah UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Pasal 89 Ayat (1) KUHAP, dan Pasal 198 Ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Pada UU Nomor 31 Tahun 1997, kata Gufron, tertulis untuk bisa menarik kasus kejahatan dari yurisdiksi peradilan umum ke peradilan militer, di mana pelakunya anggota militer dan warga sipil, hanya bisa dilakukan jika mendapat persetujuan dari Menteri Pertahanan.
"Jadi, keputusan itu bukan diambil oleh Panglima TNI apalagi Komandan Puspom TNI," ungkap Gufron di dalam keterangan tertulis yang dikutip pada Sabtu (5/8/2023).
Sementara, Pasal 89 ayat (1) KUHAP tertulis, bila terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama para subyek hukum yang masuk ke dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan militer, maka lingkungan yang mengadilinya adalah lingkungan peradilan umum.
Sedangkan, Pasal 198 Ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1997 mengenai peradilan militer, tertulis tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk di dalam yurisdiksi peradilan militer dan peradilan umum, diperiksa dan diadili di pengadilan yang dalam lingkungan pengadilan umum.
"Kecuali apabila menurut keputusan Menhan dan mendapat persetujuan dari Menteri Kehakiman, perkara itu harus diperiksa di peradilan militer," kata dia.
Saat ini, Henri dan Afri telah ditahan di instalasi militer. Pemeriksaannya terus berjalan agar bisa dilimpahkan ke pengadilan.