Demonstrasi belum dilihat sebagai sebuah tindakan efektif di Indonesia. Meski sudah ada contoh pada 1998 di mana kekuatan massa mampu menggulingkan pemerintahan otoriter Soeharto, tapi masih banyak yang menilai bahwa aksi turun ke jalan hanya buang-buang waktu.
Bukannya masyarakat tak pernah bersuara menuntut ketegasan aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi. Terbaru, pada pada Kamis (30/3) lalu puluhan mahasiswa berdemo di depan Gedung DPR/MPR meminta pemerintah menyelesaikan kasus korupsi seperti e-KTP dan lainnya.
Selain e-KTP, sejumlah demonstrasi juga dilakukan untuk menuntut penindakan kasus korupsi Bantuan Likuidasi Bank Indonesi (BLBI), dana haji dan pengadaan Al Quran, Bank Century, serta bantuan sosial. Sayangnya, demonstrasi tersebut tak diimbangi dengan kesadaran dan partisipasi aktif dari masyarakat.
Menariknya, yang terjadi justru demonstrasi meminta Gubernur non aktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk dipenjara. Sejumlah massa menilai ia telah melakukan penistaan agama sehingga harus dicopot dari jabatannya dan dipenjara. Demonstrasi itu bahkan berlangsung berkali-kali sejak akhir 2016.
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj bahkan menyarankan para massa demonstrasi tersebut untuk memprotes sesuatu yang lebih serius dan merugikan bangsa. "Demo anti-narkoba, demo anti-korupsi, demo anti-teroris, demo anti-pedofil, ya itulah penyimpangan-penyimpangan yang merugikan bangsa ini," ujar Said.