IDN Times/Axel Joshua Harianja
Brigjen Dedi sebelumnya mengungkapkan berdasarkan hasil uji balistik terhadap peluru yang bersarang pada tubuh korban tewas yang diduga perusuh saat kerusuhan 22 Mei 2019, peluru itu berjenis kaliber 5,56 milimeter dan kaliber 9 milimeter.
"Bahwa tiga proyektil yang didapat di tubuh dugaan adalah sebagai pelaku perusuh, itu kaliber (ukuran peluru) 5,56, dan kaliber 9 milimeter," kata Dedi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (19/6).
"Namun demikian, yang kaliber 9 milimiter itu tingkat kerusakan proyektilnya cukup parah karena pecah. Sehingga, untuk menguji alur senjata itu ada sedikit kendala," sambungnya.
Dedi menjelaskan, pihaknya kala itu juga masih mendalami senjata yang digunakan terhadap proyektil peluru tersebut. Menurutnya, sulit untuk menentukan senjata apa yang digunakan proyektil itu.
"Ya masih didalami dulu. karena untuk menguji balistik senjata apa yang digunakan untuk menembakan kaliber 5,56 dan 9 milimeter, itu kan masih harus ada pembanding senjatanya. Ketemu jenis senjatanya, ketemu pembandingnya. Cuma, senjata untuk menembak itu senjata siapa, itu perlu pembuktian dan perlu analisa cukup dalam," ungkapnya.
Jenderal bintang satu itu mengatakan, kaliber yang berhasil ditemukan itu biasa digunakan oleh senjata milik TNI dan Polri. Akan tetapi, kaliber peluru tersebut kata Dedi lebih banyak digunakan untuk senjata rakitan.
"Contoh seperti kejadian-kejadian konflik di Papua, kemudian yang ada di Maluku, termasuk tersangka teroris Mujadid Indonesia Timur. Itu kan dia mendapat peluru organik. Cuma senjata yang digunakan sebagian besar adalah senjata-senjata rakitan," kata Dedi.
"Senjata rakitan tersebut, yang terakhir berhasil diungkap oleh Mabes Polri, terkait masalah pak KZ (Kivlan Zen). Senjata-senjata rakitan yang lain yang dimiliki oleh pelaku terorisme juga bisa didapat dari penyelundupan senjata dari Filipina Selatan. Bisa juga senjata rakitan itu menggunakan amunisi-amunisi standar," katanya lagi.