Dalam sidang eksepsi, pengacara Novanto, Maqdir Ismail mempertanyakan dakwaan jaksa bahwa kliennya menerima uang dan barang terkait proyek e-KTP di Kementerian Dalam Negeri. Menurutnya, surat dakwaan tidak cermat dibandingkan surat dakwaan lain.
"Beliau itu dari berita acara pemeriksaan yang dilakukan dalam perkara Pak Novanto, menyangkal pernah menerima uang. Akan tetapi di dalam dakwaan Pak Irman, Sugiarto dikatakan menerima uang Rp 50 juta dan 4,5 dollar. Tapi di dalam perkara Andi Naronggong beliau dikatakan hanya menerima Rp 50 juta. Ini berbeda lagi ketika didakwaan pak Novanto, beliau menerima uang 50 juta kemudian juga ada ruko dan tanah di Kebayoran. Bagaimana mungkin seseorang akan bisa membela secara baik ketika didakwa bersama-sama tetapi faktanya beda? Inilah yang kami kritisi dari surat dakwaan," ujar Maqdir di PN Tipikor, Rabu (20/12).
Pengacara Novanto lainnya, Firman Wijaya juga menyinggung mengenai waktu terjadinya tindak pidana (tempus delicti) dan tempat dilakukannya tindak pidana (locus delicti) para terdakwa yang ternyata berbeda.
"Tempus delicti terdakwa Irman dan Sugiharto November 2009-Mei 2015. Namun dalam perkara Andi Agustinus November 2009-Mei 2015. Tempus delicti Setya Novanto November 2009-Desember 2013," kata dia.
Sedangkan perbedaan locus delicti tindak pidana yang terjadi, lanjut Firman, yakni Irman dan Sugiharto di Graha Mas Fatmawati, kantor Ditjen Dukcapil, Hotel Sultan. Sementara, locus delicti dalam dakwaan Andi Narogong di Gedung DPR, Hotel Gran Melia, dan Graha Mas Fatmawati.
"Namun pada surat dakwaan Pak Novanyo, tempat terjadinya tindak pidana disebutkan di Gedung DPR, Hotel Gran Melia, Graha Mas Fatmawati, Equity Tower, Jl Wijaya XIII, Jaksel," papar Firman.