Jika mau diteliti lebih jauh, lanjut Dewi, relokasi warga Pulau Komodo merupakan pelanggaran hukum atas tanah adat mereka sendiri, karena dalam pembukaan UUD 1945 telah dijelaskan bahwa hak atas sumber-sumber agraria seperti tanah dan air adalah untuk kemakmuran masyarakat.
"Ini memang sudah pelanggaran hak asasi, melanggar konstitusi bahkan kalau kita mengacu pada janji pemerintah saat ini, pemerintah menjanjikan penuh atas hak tanah melalui reformasi agraria. Harusnya 500 warga komodo ini bukan dipindahkan dari kampung halamannya, malah justru harus diproteksi bahkan dipenuhi hak-haknya sesuai konstitusi dan Undang-Undang pokok agraria,” jelasnya.
Perencanaan pembangunan oleh pemerintah pusat dan daerah serta badan otoritas yang dibentuk Perpres juga dinilai tidak pernah melibatkan peran serta warga lokal, sehingga banyak menyimpang dari blue print pembangunan destinasi pariwisata nasional.
"Yang ada informasi manipulatif bahwa ini akan memperluas potensi lapangan pekerjaan padahal tadinya mereka adalah petani, nelayan, kemudian dipaksa untuk ditawarkan akan menjadi guide, menjual suvenir usaha makan kecil,” ucap Dewi.
“Tapi sebenarnya masyarakat partisipasinya jadi semu, padahal mereka yang memiliki dan menguasai tanah seutuhnya tapi pada akhirnya mereka hanya menikmati remah-remah dari perkembangan pariwisata itu sendiri sementara yg menguasai penuh itu adalah pemerintah bersama badan otoritas yang dibentuk,” imbuhnya.
Ke depan, KPA berharap agar seluruh pembangunan nasional yang dilakukan oleh pemerintah dapat lebih memperhatikan hak-hak dasar dari rakyat. Bahkan Dewi melihat pembangunan destinasi pariwisata jadi salah satu modus baru oleh pemerintah untuk mengambil alih tanah adat masyarakat lokal untuk menopang perluasan pembangunan infrastruktur, di mana kepentingan ekonomi dan politiknya justru lebih berpihak pada pemodal dengan skala besar.
"Ke depan pembangunan kita harus bervisi kerakyatan. Tidak bisa investasi, perluasan infrastruktur hanya untuk semakin memperkuat pemilik-pemilik modal besar tetapi memang pembangunan infrastruktur itu harus menyangga usaha-usaha kolektif kerakyatan bukan meminggirkan usaha-usaha skala kecil yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat setempat,” ujar Dewi.
Sementara itu, Alimudin dan warga Pulau Komodo lainnya berharap agar wacana tersebut dapat dibatalkan. Bukan tanpa sebab, mereka tidak ingin bahwa identitas suku komodo hilang seiring relokasi mereka ke Pulau lain. Mereka akan mengorbankan seluruh tumpah darah mereka demi tetap berada di tanah kelahirannya tersebut.
“Kami akan berjuang seperti yang dilakukan bangsa ini ketika merebut kemerdekaan. Karena hari ini kemerdekaan kita dirampas, bukankah kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan hak setiap warga negara dan hak setiap individu,” tegasnya.