Jakarta, IDN Times - Jelang pemberian gelar profesor kehormatan kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri oleh Universitas Pertahanan, publik ramai membincangkan jurnal ilmiah yang ditulis Megawati.
Paper setebal 18 halaman itu berjudul "Kepemimpinan Presiden Megawati pada Era Krisis Multidimensi, 2001-2004. Dokumen itu terbit di Jurnal Pertahanan dan Bela Negara edisi April 2021, Volume 11 nomor 1.
Publik bisa ikut mengakses dokumen tersebut. Diskursus ini kali pertama disampaikan akun Twitter @joelpicard pada 7 Juni 2021. "Cara puji diri sendiri dengan cara ilmiah," cuit Joel di akunnya.
Warganet pun mempertanyakan, apakah etis menggunakan periode kepemimpinannya sebagai topik penelitian. Mereka menilai bisa terjadi bias dan subjektif yang besar di benak penulis, yakni Megawati sendiri.
Di dalam abstrak jurnal tertulis penelitian bertujuan untuk memberi pemahaman tentang hubungan antara krisis multidimensi dan kepemimpinan presiden pada 2001 hingga 2004.
"Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus dipakai untuk menggali tacit knowledge dari pengambil keputusan tertinggi saat itu, yang tidak lain adalah Presiden Republik Indonesia kelima Megawati Soekarnoputri," demikian bunyi paper yang ditulis Megawati.
Namun, dalam sudut pandang pengamat isu politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komaruddin, pemberian gelar profesor atau guru besar tidak tetap rentan bermuatan politis. Apalagi kampus yang memberikan gelar guru besar tidak tetap tersebut, dikelola Kementerian Pertahanan, di mana menterinya dijabat Prabowo Subianto.
Bagaimana pendapatnya mengenai proses akademis yang dilalui Mega hingga bisa diberi gelar guru besar tidak tetap? Apakah ini bermakna dunia pendidikan sudah dicemari dengan unsur politik?