Jaksa Agung Ajukan Banding, Ini Respons Ibu Korban Peristiwa Semanggi

Jakarta, IDN Times - Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dia sebelumnya dinyatakan melawan hukum, karena menyebut peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.
Menanggapi hal ini, Maria Katarina Sumarsih, ibunda dari almarhum Realino Norma Irmawan yang merupakan korban peristiwa Semanggi I, mengaku tak mempermasalahkan hal itu.
"Banding itu kan sebenernya diatur dalam Undang-Undang yah. Jadi itu hak jaksa agung untuk menindaklanjuti putusan pengadilan dari Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta," kata Sumarsih kepada IDN Times, Kamis (12/11/2020).
1. Sumarsih tetap berpijak pada UU Pengadilan HAM
Sumarsih mengatakan, selama keadilan belum ditegakkan, dia tetap berpijak pada Undang-Undang (UU) Pengadilan HAM Nomor 26 Tahun 2000. Menurutnya, aturan itu merupakan akses pengharapan yang diberikan negara kepada keluarga korban.
"Karena di dalam UU HAM itu sangat jelas mengatur mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, terutama untuk kasus Semanggi I, Semanggi II dan Trisakti yang terjadi pada tahun 1998-1999. Itu kan dikategorikan sebagai pelanggaran HAM masa lalu," ucap Sumarsih.
2. Alasan Sumarsih dkk. menggugat jaksa agung
Keluarga korban Semanggi I dan II melayangkan gugatan kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin ke PTUN Jakarta pada 22 Mei 2020. Gugatan dilayangkan Sumarsih, Ho Kim Ngo, ibunda almarhum Yap Yun Ha, serta Koalisi untuk Keadilan Semanggi I dan II sebagai kuasa hukum.
Gugatan berawal saat rapat kerja (raker) antara Komisi III DPR dan jaksa agung pada 16 Januari 2020. Saat itu Burhanuddin mengatakan, peristiwa Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan pelanggaran HAM berat.
Sumarsih mengatakan, selama persidangan banyak kebohongan yang terungkap. Pertama, tim hukum jaksa agung mengatakan bahwa pernyataan Burhanuddin dalam raker bersama Komisi III DPR, diucapkan secara spontan.
"Tetapi ternyata oleh saksi fakta itu mengatakan bahwa dia menyiapkan materi yang ternyata tinggal baca. Jadi memang jawaban itu sudah dipersiapkan dengan matang," katanya.
Kebohongan lainnya, kata Sumarsih, pada 15-19 Februari 2016 pernah dilakukan bedah kasus antara Kejagung dengan Komnas HAM.
"Tapi, kenyataannya kemarin ada saksi fakta yang menyampaikan, bedah kasus di Bogor dari 15-19 Februari 2016 itu sampai sekarang tidak ada yang menandatangani baik oleh pihak Komnas HAM dan pihak Kejaksaan Agung (Kejagung)," kata Sumarsih.
3. Burhanuddin dinilai melawan komitmen Jokowi menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat
Presiden Joko 'Jokowi' Widodo dalam kampanyenya pada 2014 dan 2019, berkomitmen menghapus impunitas dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Meski hak seluruh warga negara, Sumarsih heran mengapa Burhanuddin mengajukan banding atas vonis PTUN.
"Pertanyaannya, apakah niat banding jaksa agung itu melawan niat Presiden Jokowi untuk menyelesaikan komitmennya? Pertanyaannya kan seperti itu sebenarnya," ujar dia.
Dikonfirmasi terpisah, Kuasa hukum keluarga korban tragedi Semanggi I dan II, Trioria Pretty mengatakan, seharusnya Burhanuddin cukup menjalankan putusan PTUN.
"Kalau memang selama ini di persidangan kasus tragedi Semanggi masih diproses lewat bolak-balik berkas, harusnya jaksa agung tidak perlu repot banding. Tinggal laksanakan putusan hakim saja di raker berikutnya dengan Komisi III DPR," kata Pretty.
Jika seandainya Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) mengabulkan gugatan jaksa agung, Pretty memastikan pihaknya akan mengajukan kasasi.
"Perjuangan menuntut keadilan untuk pelanggaran HAM berat itu perjalanan panjang. Ini semua proses sampai Pengadilan HAM ad hoc atas kasus tragedi Semanggi nanti benar-benar diselenggarakan, oleh pemerintahan yang tidak pengecut mengakui kesalahan negara," tukas dia.
4. Kejagung nilai putusan PTUN keliru
PTUN pada Rabu November 2020 mengabulkan gugatan keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II, terhadap Jaksa Agung ST Burhanuddin. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung (Kejagung), Feri Wibisono menilai, putusan PTUN tidak tepat.
"Dalam pertimbangan Hakim PTUN, kami melihat banyak sekali kekeliruan dalam putusan tersebut," katanya di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Kamis 5 November 2020.
Feri mengatakan, tindakan Burhanuddin yang menginformasikan dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR, dipandang PTUN Jakarta sebagai tindakan konkret pemerintah. Namun Feri menilai, ucapan Burhanuddin bukan termasuk kategori tindakan pemerintah.
Dia menjelaskan, berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2019 tentang Administrasi Pemerintahan, tindakan pemerintah berarti pejabat pemerintahan yang melakukan tindakan konkret dalam penyelenggaraan pemerintahan.
"Sedangkan ucapan jaksa agung dalam rapat Komisi III adalah pemberian informasi, bukan suatu tindakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan," katanya.
Feri mengatakan, tindakan jaksa agung yang bisa dikategorikan sebagai penyelenggaraan pemerintahan antara lain terkait penanganan perkara, memproses penanganan perkara, tahapan, termasuk P19 atau P21.
"Jika pernyataan dan jawaban dalam suatu rapat kerja DPR dikategorikan sebagai tindakan penyelenggaraan pemerintahan, maka akan banyak sekali pernyataan jawaban yang merupakan objek sengketa," ujar Feri.
5. Keputusan PTUN dinilai tidak berlandaskan alat bukti
Dia menilai jika Hakim PTUN menyatakan Burhanuddin tidak menguraikan proses penyelidikan serta menyembunyikan fakta peristiwa Semanggi I dan II. Feri pun membantah dan menuding PTUN Jakarta mengabaikan alat bukti, yakni video rekaman rapat kerja jaksa agung dengan Komisi III DPR.
"Dalam rekaman tersebut, jaksa agung juga sudah menjelaskan tentang proses penyelidikan, kendala dan penyebab bolak-baliknya perkara antara Kejagung- Komnas HAM," katanya.
Feri mengklaim, dalam rekaman tersebut Burhanuddin tidak menyembunyikan fakta. Burhanuddin hanya menyampaikan informasi berdasarkan laporan khusus DPR pada 28 Juni 2001 dan 9 Juli 2001.
"Sehingga penyembunyian fakta, kebohongan, itu tidak ada apabila pengadilan melihat kepada bukti rekaman itu. Tapi, PTUN Jakarta tidak mau melihat bukti rekaman itu," tukas dia.