Instagram @mahkamahkonstitusi
Tidak sampai di situ saja, Majelis Hakim MK juga berjanji akan segera membawa hasil revisi ini segera ke pleno permusyawaratan Majelis Hakim MK. Namun satu tahun berselang setelah janji manis tersebut diucapkan, tidak ada pemanggilan sidang lagi terkait hal yang diajukan tersebut.
“Nah selepas dari sidang kedua (revisi berkas) sampai bulan November kemarin, kita tidak mendapatkan panggilan apapun. Itu (revisi berkas) sekitar bulan Agutus (2017) sudah tidak ada sidang lanjutan usai penerimaan revisi permohoan,” ucapnya.
Tidak mau menyerah dan putus asa, tim kuasa hukum melayangkan surat permohonan untuk bisa disegerakannya sidang kepada Majelis Hakim MK. Bukan hanya sekali, tapi tiga surat permohonan langsung dilayangkan secara berkala namun seakan menjadi angin lalu bagi mereka.
“Kami sebenarnya sudah ada strategi lain dengan ingin memasukkan surat ke Ombudsman Republik indonesia tapi tanggal 13 Desember 2018 ini kita dapat panggilan sidang dan agendanya putusan sidang perkara,” jelasnya.
“Meskipun sebenarnya kami mendapatkan panggilan sidang, kami sempat bertanya-tanya kenapa langsung putusan sidang perkara, kan harusnya kita dipanggil dulu untuk menghadirkan ahli. Kami berharapnya pemohon bisa berbicara di depan Majelis Hakim dan menceritakan langsung bagaimana proses mereka bisa dinikahkan di usia anak, tapi ternyata tidak bahwa agenda dan langsung putusan,” sambungnya.
Mereka sangat mengapresiasi putusan yang diberikan oleh MK tersebut meskipun tidak seratus persen tuntutan mereka dikabulkan karena yang menjadi catatan penting adalah bahwa MK sepakat UU Perkawinan itu melanggar UUD 1945 di Pasal 27 ayat 1 tentang kesamaan di muka hukum yang berarti antara laki-laki dan perempuan harus memiliki kesamaan dalam hal apapun termasuk batas usia menikah.
Seperti sama-sama kita ketahui bahwa dalam UU Perkawinan sendiri masih ada perbedaan usia pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Untuk laki-laki, batas dini usia menikah adalah 19 tahun sedangkan bagi perempuan adalah 16 tahun. Ini dikatakan Anggi merupakan suatu pelanggaran HAM terkait kesetaraan di mata hukum tersebut.
“Terjadi diskriminasi, ada perbedaan antara batas usia menikah bagi anak laki-laki dan perempuan karena laki-laki boleh menikah di usia 19 tahun, maka dia punya kesempatan lebih panjang untuk mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan, kemudian dia bisa menentukan kapan menikah, kapan dia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, tapi itu tidak diberikan kepada anak perempuan,” tegasnya.