Eks penyidik senior KPK Novel Baswedan (IDN Times/Ashari Arief)
Sebelumnya, penyidik senior KPK Novel Baswedan memaparkan sejumlah contoh pertanyaan yang diberikan padanya saat menjalani TWK. Dia masih ingat apa saja pertanyaan dan jawaban yang dilontarkan dalam tes tersebut.
"Kebetulan saya disebut sebagai salah satu dari 75 pegawai KPK yang katanya tidak lulus TWK tersebut," katanya.
Berikut adalah contoh pertanyaan yang disampaikan kepada Novel beserta jawabannya:
1. Apakah Saudara setuju dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan tarif dasar listrik (TDL)?
Jawaban saya saat itu kurang/lebih seperti ini: " Saya merasa tidak ahli bidang politik dan ekonomi, dan tentunya karena adalah penyidik Tindak Pidana Korupsi, saya lebih tertarik untuk melihat tentang banyaknya dugaan praktik korupsi dalam pengelolaan listrik negara, dan inefisiensi yang menjadi beban bagi tarif listrik".
2. Bila Anda menjadi ASN, lalu bertugas sebagai Penyidik, apa sikap anda ketika dalam penanganan perkara di intervensi, seperti dilarang memanggil saksi tertentu dan sebagainya?
Saya jawab kurang lebih begini: "Dalam melakukan penyidikan tidak boleh dihalangi atau dirintangi, karena perbuatan tersebut adalah pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan sebagai seorang ASN, saya tentu terikat dengan ketentuan Pasal 108 ayat 3 KUHAP, yang intinya pegawai negeri dalam melaksanakan tugas mengetahui adanya dugaan tindak pidana wajib untuk melaporkan. Sehingga respon saya akan mengikuti perintah Undang-Undang yaitu melaporkan bila ada yang melakukan intervensi".
3. Apakah ada kebijakan Pemerintah yang merugikan anda?
Saya jawab kurang lebih seperti ini: "Sebagai pribadi saya tidak merasa ada yang dirugikan. Tetapi sebagai seorang warga negara saya merasa dirugikan terhadap beberapa kebijakan Pemerintah, yaitu diantaranya adalah UU No 19/2019 yang melemahkan KPK dan ada beberapa UU lain yang saya sampaikan. Hal itu saya sampaikan karena dalam pelaksanaan tugas di KPK saya mengetahui beberapa fakta terkait dengan adanya permainan/pengaturan dengan melibatkan pemodal (orang yang berkepentingan), yang memberikan sejumlah uang kepada pejabat tertentu untuk bisa meloloskan kebijakan tertentu. Walaupun ketika itu belum ditemukan bukti yang memenuhi standar pembuktian untuk dilakukan penangkapan. Tetapi fakta-fakta tersebut cukup untuk menjadi keyakinan sebagai sebuah pengetahuan. Sebaliknya, bila dijawab bahwa semua kebijakan adalah baik dan saya setuju, justru hal tersebut adalah tidak jujur yang bertentangan dengan norma integritas. Kita tentu memahami bahwa Pemerintah selalu bermaksud baik, tetapi faktanya dalam proses pembuatan kebijakan atau UU seringkali ada pihak tertentu yang memanfaatkan dan menyusupkan kepentingan sendiri atau orang lain hal itu dilakukan dengan sejumlah imbalan (praktik suap) yang akhirnya kebijakan atau output UU tersebut merugikan kepentingan negara dan menguntungkan pihak pemodal (pemberi uang yang berkepentingan).