Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Banjir bandang di Sumatra
Potret banjir bandang di Sumatra. (Dokumentasi BNPB)

Intinya sih...

  • Hampir semua area di Sumatra didesak jadi basis energi air

  • Sumatra dibebani tiga lapis industri sekaligus

  • Pemerintah didesak segera cabut izin industri ekstraktif yang merusak

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) membantah banjir dan longsor beruntun yang terjadi di Pulau Sumatra sekadar bencana hidrometeorologis biasa. Menurut mereka, apa yang terjadi di tiga provinsi di Pulau Sumatra itu menjadi gejala dari krisis tata kelola ruang di pulau tersebut.

Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Minggu, 30 November 2025, jumlah korban meninggal dunia akibat banjir dan longsor di Sumatra sudah mencapai 442 jiwa. Sebanyak 402 orang lainnya dilaporkan masih hilang.

"Situasi tersebut tidak lagi bisa dijelaskan hanya dengan narasi cuaca ekstrem sebagai penyebab. Tetapi, harus dibaca sebagai akibat langsung dari rusaknya ekosistem hulu dan daerah aliran sungai (DAS) oleh industri ekstraktif," ujar Koordinator Nasional JATAM, Melky Nahar, di dalam keterangan tertulis, Senin (1/12/2025).

Ia mengatakan, berdasarkan data yang diolah oleh JATAM dari Kementerian ESDM, terlihat Sumatra telah diperlakukan sebagai zona pengorbanan untuk tambang minerba. "Ada sedikitnya 1.907 wilayah izin usaha pertambangan minerba aktif dengan total luas 2.458.469 hektare," katanya.

Kepadatan izin ini, kata Melky, terkonsentrasi di Bangka Belitung (443 izin), Kepulauan Riau (338), Sumatra Selatan (217), Sumatra Barat (200), Jambi (195), dan Sumatra Utara (170). "Sementara, provinsi lain seperti Lampung, Bengkulu, Aceh, dan Riau juga dijejali puluhan hingga ratusan izin di darat maupun laut," imbuhnya.

1. Hampir semua area di Sumatra didesak jadi basis energi air

Peta yang diolah JATAM soal keberadaan PLTA Batang Toru, Sumatra Utara. (Dokumentasi JATAM)

Lebih lanjut, JATAM mengatakan, tekanan terhadap ekosistem Sumatra tidak berhenti pada tambang minerba saja. Berdasarkan data yang mereka kumpulkan, ada 28 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang beroperasi atau dikembangkan di Sumatra.

"Dengan sebaran terbesar ada di Sumatra Utara sebanyak 16 titik, diikuti Bengkulu (5 PLTA), Sumatra Barat (3 PLTA), Lampung (3 PLTA), dan Riau (2 PLTA)," kata Melky.

Ia menambahkan, bila dilihat dari sebaran operasi PLTA tersebut, menandakan hampir semua provinsi di Sumatra didesak menjadi basis energi air yang sarat risiko ekologis. Di antara titik itu terdapat PLTA Batang Toru dan PLTA Sipansihaporas di Sumut yang memanfaatkan aliran dari salah satu DAS utama di ekosistem Batang Toru.

"Kawasan itu secara ekologis penting. Namun, kini sudah dipenuhi bendungan, terowongan air dan jaringan infrastruktur lain," tutur dia.

Berdasarkan analisis deret waktu citra Google Satellite/Google Imagery yang dilakukan JATAM per 28 November 2025, proyek PLTA Batang Toru telah membuka 56,86 hektare kawasan hutan di sepanjang aliran sungai untuk bangunan utama, kolam, jalan, dan area penunjang. Dari situ, jelas terjadi pelebaran area terbuka di tubuh ekosistem.

"Kehadiran PLTA dalam skala masif memodifikasi aliran sungai, mengubah pola sedimen, dan memperbesar risiko banjir maupun longsor di hilir ketika kombinasi curah hujan ekstrem dan pengelolaan bendungan yang buruk terjadi bersamaan," katanya.

2. Sumatra dibebani tiga lapis industri sekaligus

Bangunan milik warga di Pidie, Aceh yang rusak akibat dihantam banjir dan longsor. (Dokumentasi Puspen TNI)

Selain energi air, di Pulau Sumatra juga masif terjadi perluasan energi panas bumi yang mengunci ruang hidup di banyak kawasan di area pegunungan. Saat ini terdapat delapan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang sudah beroperasi.

"Empat (PLTP) di Sumatra Utara, satu di Sumatra Barat, dua di Sumatra Selatan, dan satu di Lampung," kata Melky.

Angka itu, kata Melky, belum termasuk wilayah yang masih berstatus Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (WPSPE) maupun Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang sedang dieksplorasi. Artinya, masih ada lapisan risiko baru di masa depan ketika WPSPE dan WKP ini naik kelas menjadi operasi penuh.

Jika seluruh angka tersebut disatukan, terlihat jelas wajah Sumatra saat ini adalah pulau yang tubuh ekologisnya dibebani tiga lapis industri sekaligus, yakni tambang minerba yang merusak tutupan hutan dan tanah; PLTA yang memotong dan mengatur ulang aliran sungai; dan PLTP yang menggali kawasan pegunungan dan hulu DAS.

Di luar itu, Pulau Sumatra masih dibebani ekspansi migas, perkebunan sawit skala luas, industri kehutanan (HPH dan HTI), serta tambang-tambang ilegal yang tidak tercatat dalam basis data resmi.

3. Pemerintah didesak segera cabut izin industri ekstraktif yang merusak

Dampak kerusakan yang diakibatkan usai terjadi banjir di Sumatra Barat. (Dokumentasi BNPB)

Lantaran dampaknya yang fatal, maka JATAM mendesak pemerintah agar segera mencabut izin-izin industri ekstraktif yang terbukti merusak. Penghentian industri ekstraktif ini termasuk yang berada di kawasan hulu, rawan bencana dan DAS kritis.

"JATAM juga mendesak agar dikembalikan ruang kelola kepada masyarakat lokal dan adat. Sebab, mereka yang paling berkepentingan menjaga hutan dan sungai," kata Melky.

Tanpa langkah politik seberani itu, tutur dia, setiap proposal tambang baru, perluasan kebun, dan megaproyek energi di Sumatra hanya akan menjadi kontrak baru untuk menambah panjang daftar korban banjir dan longsor di tahun-tahun mendatang.

Sementara, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia mengatakan, akan melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap aktivitas penambangan di Sumatra pasca-bencana banjir bandang dan longsor. Meski begitu, pemerintah saat ini masih fokus pada penanganan kedaruratan.

Terutama terkait pembukaan akses dan pemulihan layanan dasar. Sejumlah daerah kini masih terisolasi karena jalan utama putus tertimbun material longsor.

 "Banyak saudara-saudara kita kehilangan rumah, akses terputus, dan kini berada di pengungsian," ujar Bahlil di Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada Sabtu, 29 November 2025.

Editorial Team